Reporter: Harry Muthahhari | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri ritel kini tengah mengalami tantangan berupa perubahan pola konsumsi. Salah satu pola konsumsi yang berubah adalah keinginan membeli yang lebih praktis.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey meyakini bahwa sebetulnya tidak ada yang berubah dari daya beli masyarakat yang mengakibatkan beberapa peritel tutup. Cara belanja konsumen kini, tidak lagi datang ke supermarket setiap bulannya.
Baca Juga: Aprindo: PHK di sektor ritel bukan karena menurunnya daya beli masyarakat
Tetapi, konsumen hanya membeli apa yang diperlukan dalam waktu dekat saja. Karenanya, kunjungan ke hypermarket, yang memiliki luasan 5.000 meter persegi, berkurang sementara kunjungan ke mini market lebih tinggi.
“Kalau dulu belanja itu bulanan, sekarang lebih baik belanja untuk keperluan jangka pendek ke pusat perbelanjaan yang paling dekat,” katanya kepada Kontan.co.id pada Kamis (12/9).
Perubahan pola konsumsi itu juga menurunkan potensi nilai transaksi dari konsumen. Kata Roy, saat konsumen mengunjungi hypermarket ketimbang toko ritel yang lebih kecil, kemungkinan pembelian impulsif lebih besar.
“Karena barang di hypermarket lebih lengkap, jadi yang tadinya enggak direncanakan beli bisa jadi dibeli kalau toko semakin lengkap,” tambahnya.
Apalagi sekarang pembelian barang-barang tertentu bisa dibeli secara online. Akibatnya hypermarket dan supermarket terkena dampaknya. Misalnya pada pertengahan tahun 2019 ini, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) menutup enam gerai Giant demi merespon perubahan perilaku konsumen.
Baca Juga: Wah, ketua umum pengusaha ritel pernah kena tipu belanja online
Roy mengatakan, peritel musti beradaptasi dari perubahan pola konsumsi masyarakat sekarang ini. Toko ritel yang lebih kecil, diyakini Roy lebih menjadi pilihan bagi konsumen saat ini.
Tak hanya itu, efisiensi juga mesti menjadi jurus peritel untuk bisa bertahan dalam kondisi seperti sekarang ini. Efisiensi yang dimaksud bisa dengan manajemen inventory untuk menyediakan barang seefektif mungkin sehingga tidak ada barang yang tidak terjual. Bisa juge dengan menggunakan listrik seefisien mungkin.
Kemudian mengadaptasi sistem teknologi juga dinilai sangat penting untuk mengikuti perubahan pola konsumen. Kendati investasinya bisa sangat mahal, kata Roy, hasilnya bisa sangat baik bagi kelangsungan bisnis ritel. “Peritel juga musti responsif dengan teknologi payment yang kini menjadi opsi banyak konsumen,” terangnya.
Awal tahun 2019, Aprindo menargetkan pertumbuhan ritel bisa mencapai 11% sampai 12%. Melihat kondisi sekarang, agaknya Aprindo memasang target lebih rendah yakni 9% sampai 10%.
Baca Juga: Jangan sampai ketinggalan, ratusan mal gelar diskon hingga 74%!
Sampai akhir tahun 2019, Roy yakin ritel bisa tumbuh di angka tersebut. Pasalnya, masih ada momen akhir tahun yang menjadi high season bagi penjualan para peritel.
Pelantikan Presiden baru juga diyakini jadi stimulus pertumbuhan industri ritel di kvartal IV 2019. Pengalaman Roy, biasanya program 100 hari Presiden fokus pada pertumbuhan ekonomi. Toh selama ini, pendorong pertumbuhan ekonomi masih berasal dari sektor konsumsi yang juga dikuasai oleh ritel. Sektor konsumsi, kata Roy, kontribusinya masih lebih dari 50%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News