kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perlu harmonisasi regulasi untuk mengakhiri polemik tata kelola sawit


Minggu, 25 Agustus 2019 / 09:05 WIB
Perlu harmonisasi regulasi untuk mengakhiri polemik tata kelola sawit


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan sekitar 81% perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak mematuhi tata kelola sawit menuai polemik. Pasalnya, pernyataan ini semakin mendiskreditkan citra komoditas sawit di pasar global yang saat ini tengah terpuruk.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani mengatakan, berbagai persoalan seperti kewajiban plasma 20%, kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU), dan konflik lahan dipicu oleh sejumlah regulasi yang bersinggungan dan tidak sinkron antara satu kebijakan dan kebijakan lain.

Baca Juga: Pengusaha Sawit Langgar Aturan, BPK Rekomendasikan Polri dan Kejagung Turun Tangan premium

Menurutnya, hal Ini bukan soal benar atau salah, tapi harus dilihat  dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut.

"Disisi lain, pemerintah tengah bekerja keras  membangun kampanye positif sawit di pasar global, “ ujarnya, Sabtu (24/8).

Manggabarani menuturkan, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak tahun 2007 seiring terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang  mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi.

“Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007  tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan tersebut tidak berlaku surut. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut,” kata dia.

Persoalan lain adalah kewajiban plasma 20% punya telaah dan versi  yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20% dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.

“Persoalan ini juga menjadi tidak mudah karena  Kementerian Pertanian mensyaratkan lahan plasma harus berada luar HGU. Padahal untuk mencari lahan di luar HGU yang clear and clean bukan persoalan yang mudah  karena adanya ketimpangan penguasaan lahan.”

Sementara, regulasi yang terbit belakangan ikut  memicu persoalan baru di perkebunan sawit.Sejak awal,  kebun sawit berasal dari Area Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disertifikatkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

Persoalannya, tiba-tiba muncul pasca regulasi kehutanan yang mengubah tata ruang dan menetapkan kawasan HGU tersebut menjadi hutan lindung. “Konflik seperti ini terjadi di banyak provinsi, salah satunya Kalimantan Tengah. Kalau masalahnya seperti ini siapa yang mau disalahkan. Hingga kini masalah tersebut  belum punya solusi,” kata Manggabarani.

Baca Juga: BPK: Ada jutaan hektare lahan sawit bermasalah

Manggabarani bilang jika sejak awal, perkebunan sawit berdiri di atas kawasan hutan lindung, hal itu jelas merupakan persoalan hukum “Tapi kalau perkebunan sawit yang ada sudah bersertifikat  dan ada jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung,  pemerintah perlu tegas dan punya solusi dan tidak saling menyalahkan.”

Manggabarani  mengungkapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga menjadi komitmen dari perkebunan sawit di Indonesia untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan. Hingga kini, setidaknya ada 3-4 juta hektar perkebunan sawit besar telah bersertifikat ISPO.

“Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, banyak persyaratan yang harus ditaati termasuk lahan yang clear and clean. Karena itu, klaim 81% perkebunan tidak mengikuti tata kelola perkebunan sawit agak diragukan karena  tidak sejalan dengan kebijakan lain yang diberlakukan Pemerintah melalui ISPO.”

Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan DR Sadino juga mempertanyakan tolak ukur penetapan baik dan tidak baik untuk perusahaan perkebunan. Menurutnya, BPK seharusnya punya standar perkebunan yang baik sebelum menjustifikasi pernyataan yang bisa memicu kontroversi  publik. Disisi lain, BPK perlu memahami bahwa banyak regulasi terkait sawit yang tidak harmonis

“Ini yang pertama harus dibenahi dan bukan membuat pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi.  Jangankan swasta,  perusahaan negara saja, bisa kacau balau jika regulasinya tidak konsisten,” kata Sadino.

Baca Juga: Menko Luhut akan laporkan hasil temuan BPK tentang sawit ke presiden

BPK, lanjut Sadino perlu menjangkau semua regulasi dan tidak hanya menjadikan satu atau dua regulasi sebagai pijakan. “Pendapat BPK dengan mengkaji semua regulasi juga harus komprehensif agar tidak menimbulkan salah tafsir.”

Presiden Jokowi juga harus mengingatkan agar tidak semua instansi berkomentar dan membuat pernyataan yang bisa memicu sentimen negatif. Apalagi jika pernyataan itu diungkapkan pihak-pihak yang tidak memahami semua kebijakan.”Apa jadinya dengan investasi dan tenaga kerja, jika banyak industri kolaps, hanya karena tidak ada kepastian berusaha dan semua pihak boleh berbicara semaunya.”

Sadino mengingatkan, tumpang tindih perizinan disebabkan regulasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, banyak kawasan yang dulunya ditetapkan sebagai budidaya dengan terbitnya regulasi baru tiba-tiba ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. “Ini polemik berkepanjangan yang tidak bisa digeneralisir sebagai kesalahan. Apalagi asumsinya hanya menggunakan sampling,” kata Sadino.

Sadino juga meragukan pernyataan BPK tentang 81 persen perkebunan sawit tidak melakukan tata kelola yang baik. “Kalau memang BPK menemukan adanya pelanggaran hingga 81 persen, kok baru sekarang diumumkan. Seharusnya, sejak awal laporkan saja kepada penegak hukum agar diselesaikan atau berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk melakukan pembenahan,” kata Sadino.

Baca Juga: Permintaan minyak sawit (CPO) melesat saat produksi menurun karena musim kemarau

Menurut Sadino, pernyataan BPK perlu disesalkan karena memberi tendensi negatif terhadap industri sawit di Indonesia. “Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Di luar negeri, kampanye hitam dan antisawit tidak pernah surut , sementara di dalam negeri, industri ini dipojokkan dengan pernyataan-pernyataan yang belum terklarifikasi benar akibat tumpang tindih regulasi.”

Sadino menyarankan, pemerintah sebaiknya menunjuk institusi tertentu seperti Kementerian Pertanian dan sekretaris ISPO untuk memberikan pernyataan terkait perkebunan sawit.Persoalannya tidak semua institusi punya kapasitas dan kemampuan untuk menjelaskan dengan baik dan benar sehingga akan memperkeruh suasana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×