Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar retaknya konsorsium PT Pertamina Power Indonesia (PPI) dan Marubeni Corporation menghangat dalam beberapa waktu terakhir. Retaknya kongsi di bisnis pembangkit listrik tersebut diketahui lantaran adanya friksi yang cukup tajam antar pihak terkait.
Konsorsium tersebut menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 Megawatt (MW). Dalam membangun PLTGU Jawa-1, PPI-Marubeni mengantongi saham masing-masing 40%, sementara 20% sisanya dimiliki oleh Sojitz Corporation.
Baca Juga: Dua Putra Utama Makmur (DPUM) merampungkan restrukturisasi utang dengan LPEI
PLTGU Jawa-1 merupakan bagian dari megaproyek 35.000 MW, sehingga PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun berkepentingan agar pembangkit tersebut bisa berjalan sesuai jadwal. Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo Abumanan menekankan, pihaknya telah menanda tangani perjanjian jual-beli listrik alias Power Purchase Agreement (PPA) dengan konsorsium yang dipimpin oleh Pertamina tersebut.
Sehingga, sebagaimana kontrak dengan produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) lainnya, menjadi tanggung jawab konsorsium untuk merampungkan proyek PLTGU Jawa-1 sesuai jadwal yang telah disepakati.
Kendati begitu, Djoko menyampaikan bahwa PLN belum dapat turut campur dalam permasalahan di konsorsium tersebut. Djoko bilang, masalah yang terjadi antara anggota konsorsium harus bisa segera diselesaikan secara internal.
"Yang kita tahu itu sedang konstruksi, pokoknya kita sesuai kontrak saja. Kami meneken PPA dengan konsorsium Pertamina. Kalau mereka ada masalah, itu internal mereka, PLN nggak sampai ke sana," kata Djoko saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (4/11).
Baca Juga: Pacu kinerja, Borneo Olah Sarana Sukses (BOSS) andalkan batubara kalori tinggi
Menurut Djoko, PLN hanya memastikan tahapan pembangunan PLTGU Jawa-1 berjalan sesuai jadwal, khususnya yang menyangkut financial close dan konstruksi. Namun, PLN tidak akan sepenuhnya lepas tangan. Sebab, Djoko menyebut bahwa jika progres konstruksi berjalan mandek, maka PLN bisa melakukan intervensi untuk memastikan proyek bisa terus berjalan dan rampung sesuai rencana.
"Kecuali ada hal yang luar biasa, baru PLN akan panggil. Misalkan progres nggak sesuai dan bisa mundur dari target, itu harus ada negosiasi lagi," ujar Djoko.