Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Sebagai informasi, saat ini progres PLTGU Jawa-1 mencapai 30% dan akan selesai 2021 mendatang. Pembangkit yang dibangun di Cilamaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat ini menelan biaya sebesar US$ 1,8 miliar.
Hingga sekarang, PLTGU yang terintegrasi dengan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) itu telah menyerap dana sebanyak US$ 275 juta.
Sebagaimana yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, friksi di konsorsium itu terbuka setelah pada pekan lalu, Direktur Utama PT PPI, Ginanjar, dicopot dari jabatannya.
Belakangan terungkap, pada 13 September 2019 Ginanjar pernah mengirimkan seberkas surat untuk Chief Audit Executive PT Pertamina (Persero). Surat itu perihal tambahan data dan informasi terkait permohonan pelaksanaan investigasi proyek IPP Jawa-1.
Dalam surat itu disebutkan, friksi yang cukup tajam di konsorsium terjadi lantaran ada sejumlah masalah. Antara lain persoalan entering fee bergabungnya Sojitz ke dalam konsorsium, pembelian lahan tambahan untuk Right of Way (ROW) tahun 2018, isu pelanggaran local content atau Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tahun 2019, hingga negosiasi Mitsui O.s.k Lines (MOL) sebagai pengganti Exmar dalam konsorsium FSRU tahun 2018.
Baca Juga: Volume pengiriman meningkat, Qrim Express investasi conveyor senilai US$ 1 juta
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai kapasitas dan investasi yang besar dari PLTGU Jawa-1, membuat posisi pembangkit ini sangat strategis. Menurut Fabby, PLTGU Jawa-1 memiliki peran yang penting baik dalam pemenuhan infrastruktur kelistrikan, maupun dalam megaproyek 35.000 MW.
"PLTGU Jawa-1 adalah proyek yang cukup besar dari arti size of capital dan capacity. Membuat proyek ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi," kata Fabby.
Sehingga, Fabby meminta ada upaya serius dan segera dari Pertamina dan mitra untuk menyelesaikan masalah di konsorsium tersebut. Bahkan, Fabby pun berpandangan PLN perlu memanggil pihak-pihak terkait agar kisruh itu bisa cepat diselesaikan dan tidak menjadi preseden negatif terhadap investasi kelistrikan di megaproyek 35.000 MW tersebut.
"Sebagai pihak yang memiliki proyek ini PLN harus memastikan pelaksanaan proyek sesuai schedule. Konsorsium harus mampu segera menyelesaikan persoalan internal mereka dan memastikan proyek deliver sesuai spesifikasi dan waktu yg ditentukan sesuai kontrak," ungkap Fabby.