Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA, Petani sawit meminta pemerintah tidak menurunkan tarif pungutan ekspor sawit. Dengan skema pungutan sekarang ini, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani terbilang tinggi.
Kebijakan tarif pungutan ekspor sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 dinilai sudah on the right track atau sejalan dengan arah program hilirisasi.
“Kami keberatan kalau pungutan ekspor sawit diubah. Jangan percaya kalau ada yang mengatakan pungutan ekspor itu merugikan petani. Tidak benar apabila dikatakan pungutan menurunkan ekspor sawit Indonesia,” ujar Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Menurutnya, pungutan ekspor CPO atau Levy dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan SDM Pekebun, riset, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan hilirisasi, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, peremajaan sawit rakyat (PSR), sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.
Baca Juga: Indonesia - EFTA CEPA mendukung kampanye positif kelapa sawit
Dana pungutan ini dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), "Jangan salah pungutan ekspor ini bukan masuk ke APBN atau APBD. Berbeda dengan bea keluar (BK) peruntukannya pendapatan negara," jelas Gulat.
Ia mengakui petani sangat menikmati tingginya harga TBS sawit di 22 provinsi yang menjadi sentra sawit. Harga TBS membuat petani dapat belanja dan memenuhi kebutuhan mereka. Otomatis, pengeluaran para petani sawit inilah yang menggerakkan perekonomian daerah.
“Riau, Sumatra Utara, dan Kalimantan Barat menjadi contoh bagusnya nilai tukar petani. Alhasil, perekonomian daerah ikut bergerak,” kata kandidat doktor lingkungan ini.
Dengan adanya pungutan, pengusaha CPO sudah berpikir untuk hilirisasi dalam negeri karena tarif pungutan untuk ekspor produk hilir dari CPO jauh lebih rendah.
“Artinya, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat. Kenaikan harga CPO dunia berdampak positif terhadap harga TBS,” ujar Gulat.
Ia mengakui serapan sawit di dalam negeri menjadi kunci stabilnya harga TBS. Instrumen penyerapan sawit ini adalah kebijakan mandatori biodiesel. "Dengan adanya pemakaian sawit di dalam negeri, pabrik sawit beroperasi 24 jam. Tidak ada lagi alasan tanki penyimpan penuh. Karena serapan sawit sangat tinggi," sambungnya.
Baca Juga: Pelaku industri hilir kelapa sawit dukung pemerintah lanjutkan pungutan ekspor