Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berusaha mencari berbagai alternatif untuk mengembangkan infrastruktur gas agar bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM). Salah satu cara adalah transportasi gas menggunakan kereta api, juga membangun floating storage and regasifications unit (FSRU) terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Vice President Corporate Communications PGN Ridha Ababil menyatakan, pada Mei 2014, pihaknya telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan perusahaan energi asal Prancis, yakni GDF Suez, untuk melakukan studi kelayakan dalam rangka membangun terminal LNG di darat, di Pulau Jawa bagian Utara.
Lewat studi tersebut, PGN dan GDF Suez akan menentukan lokasi pembangunan terminal LNG, pasar LNG, sekaligus sumber pasokan gas. "Termasuk juga memutuskan apakah terminal LNG onshore ini layak atau belum layak dibangun. Jadi kami masih melihat hasil studi nanti," ujar Ridha Ababil kepada KONTAN, Selasa (24/6).
Selain membangun terminal LNG, PGN dan GDF Suez juga secara bersamaan melakukan studi kelayakan pembangunan jaringan pipa distribusi dan transmisi gas yang saling terkoneksi dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Sebagai catatan, selama ini kendala yang dihadapi Indonesia dalam konversi dari BBM ke gas adalah sumber pasokan LNG yang sebagian besar ada di kawasan timur Indonesia.
Sementara pasar gas yang sangat potensial yakni industri berada di Pulau Jawa. Alhasil, infrastruktur gas yang masih kurang di dalam negeri membuat sebagian besar LNG yang dihasilkan Indonesia di jual ke pasar ekspor. Meskipun sudah ada fasilitas penerima gas di dalam negeri seperti terminal LNG di laut atawa FSRU baru ada satu, yakni di Jawa Barat.
Meski demikian, Ridha mengaku, belum tahu pasti berapa nilai investasi yang diperlukan untuk membangun terminal LNG di darat tersebut. Meski demikian, terminal LNG yang akan dibangun itu tidak bakal jauh berbeda dengan terminal LNG Arun yang dibangun Pertamina.
Sebagai perbandingan, terminal LNG yang dibangun Pertamina di Arun, Nanggore Aceh Darussalam memiliki kapasitas 400 juta standar kaki kubik per hari atau million standard cubic feet per day (mmscfd) atau setara dengan 3 juta ton per tahun.
Nilai investasi pembangunan jaringan pipa transmisi menelan dana US$ 570 juta dan dana investasi regasifikasi LNG sebesar US$ 80 juta. Regasifikasi adalah proses mencairkan gas ketika akan diangkut sekaligus proses membuat cairan itu kembali menjadi gas.
Siap mencari dana
Manajemen PGN saat ini masih fokus menunggu hasil studi kelayakan pembangunan terminal LNG. Apabila hasil studi memutuskan untuk melanjutkan proyek tersebut, PGN bersiap mencari pendanaan melalui pinjaman perbankan, menjual saham, ataupun lewat penerbitan surat utang obligasi.
Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Senin (23/6), Executive Vice President GDF Suez, Jean Claude Depail, mengatakan, perjanjian dengan PGN penting dalam proyek pengembangan infrastruktur gas di Indonesia. Kerjasama ini merupakan strategi kemitraan jangka panjang dengan PGN.
Dia menyatakan, kemitraan ini merupakan contoh baru dari strategi pengembangan GDF Group di bidang infrastruktur gas. Terutama, untuk memfasilitasi akses ke supply energi bagi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi pesat seperti Indonesia.
GDF Suez mengklaim memiliki pengalaman dalam membangun infrastruktur gas, sehinga bisa menjadi dasar dari perjanjian kerja sama dengan PGN. Depail menilai PGN bisa mendapatkan bantuan teknis dari berbagai lini bisnis Infrastruktur GDF Suez, khususnya berkaitan dengan optimalisasi jaringan operasi, pemeliharaan dan memfasilitasi terminal LNG baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News