Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
Gigih menilai, dengan konsep agregasi maka kebutuhan gas yang besar bisa terpenuhi dengan cara menyimpannya dalam bentuk LNG. Konsep agregator gas juga menjadi penting karena bisa memastikan adanya ketahanan energi nasional khususnya pasokan gas.
"Kami sudah punya infrastruktur. Kami simpan gas dalam bentuk LNG. Ini kan namanya ketahanan energi nasional. Mana daerah yang butuh, kami akan pasok," ujar dia.
Baca Juga: Selama ini Industri terbantu dengan keberadaan BUMN Gas
Ia menjelaskan, dengan konsep agregator gas maka akan ada cross subsidi antar konsumen, sehingga harga gas ke konsumen akan kompetitif.
"Setiap industri kan beda-beda harganya karena harga dari hulunya beda-beda. di Jatim dari Husky itu US$ 7-US$ 8 per mmbtu, di Jambaran Tiung Biru itu bisa US$ 6-US$ 7 per mmbtu, kalau agregasi itu ada cross subsidi itu konsumen itu bisa dapat harga yang kompetitif," tutur dia.
Pengelolaan Infrastruktur Milik Pemerintah
Tahun | Panjang Jargas Pemerintah |
2013 | 685 km |
2014 | 979 km |
2015 | 1.495 km |
2016 | 2.375 km |
2017 | 3.299 km |
2018 | 3.838 km |
2019 | Sedang proses pembangunan |
Gigih menjelaskan, dengan adanya sistem agregasi gas nasional maka juga akan mengubah adanya RUPTL yang mana pada tahun 2050 kebutuhan gas bisa menjadi 30% dari sebelumnya hanya 22%.
"Pemerintah akan mempercepat, porsi gas akan semakin banyak. Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024-Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Energi mix berubah karena menginduk ke RPJMN 2020-2024-RUPTL. Bappenas itu mengacu kesana secara nasional dan arah infrastruktur gasnya sudah terlihat," urai dia.
Ia menjelaskan, dalam menggapai rencana sebagai agregator gas nasional pihaknya juga membutuhkan peran dari Kementerian ESDM soal masalah alokasi gas.
"Bagi kami mendapatkan pasokan itu harus jangka panjang. Sebab, misalnya kami mendapat pembeli 20 tahun tentu harus dipenuhi selama 20 tahun. Selain itu juga, alokasi gas bisa point to point. Kami butuh untuk industri di Jawa Tengah, nanti bisa diambilkannya dari sumber mana. Itu peran Kementerian ESDM yang bisa memberikan," tutur dia.
Baca Juga: Erick Thohir akan memperbaiki Holding BUMN bentukan Rini Soemarno
Gigih juga menilai, bahwa sistem kluster gas lebih cocok dijalankan di Indonesia sehingga harga gas di Lampung dan Jawa Barat boleh saja berbeda-beda. Misalnya, nanti dalam kluster harga gas industri tertentu akan sama, yakni industri pangan, keramik, chemical harganya US$ 8 per mmbtu, sektor kelistrikan dan pupuk harganya US$ 6 per mmbtu, dan sektor petrokimia harganya US$ 7 per mmbtu.
"Jual gasnya sesuai kemampuan konsumen masing-masing. Black Box-nya kita yang pegang. Yang penting pasokan gas lancar dan kebutuhan domestik terpenuhi," imbuh dia.
Mengelola pasokan gas kata Gigih tidak mudah, sebab beberapa waktu lalau ConocoPhilips melakukan perawatan selama satu minggu dan PGN kehilangan 400 mmscfd. "PGN tidak bisa salurkan gas karena masalah perawatan di hulu. Kalau memakai sistem agregator gas atau sistem kuota, PGN bisa mencari gas dari sumber lain," ujar dia.
Menurut Gigih, jika sistem agregator gas terlaksana maka kebutuhan gas akan terpenuhi, sehingga yang menjadi konsen pemerintah nantinya di sektor gas ini adalah soal pengawasan terhadap adanya kelangkaan. "Sama seperti BBM, yang penting tidak langka karena sudah diberikan keleluasaan sebagai agregator gas," ungkapnya.