Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebutuhan gas domestik tampaknya akan segera membesar dengan adanya rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pemindahan Ibukota baru ke Kalimantan Timur. Disamping itu juga, program sambungan pipa untuk rumah tangga juga menjadi prioritas pemerintah.
Pemerintah juga tampaknya ingin segera memberikan gas untuk kebutuhan domestik ketimbang diekspor. Salah satunya gas dari ConocoPhilips di Blok Corridor yang akan diprioritaskan untuk domestik dari sebelumnya diekspor ke Singapura.
Portofolio Niaga dan Infrastruktur Gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk
Daerah | Sambungan Rumah Tangga |
Deli Serdang | 5.560 SRT |
Kabupaten Pali | 5.375 SRT |
Kabupaten Musi Rawas | 5.182 SRT |
Prabumulih | 4.315 SRT |
Serang | 6.018 SRT |
Bogor | 5.120 SRT |
Cirebon | 3.503 SRT |
Pasuruan | 6.314 SRT |
Probolinggo | 5.088 SRT |
Kab. Penajam Paser Utara | 4.502 SRT |
Tarakan | 4.659 SRT |
Balikpapan | 5.000 SRT |
Bontang | 5.005 SRT |
Medan | 5.656 SRT |
Sorong | Operasi Distribusi/Jargas (RD I,II,III) |
17 Provinsi | 71.297 SRT |
Josaphat Rizal Primana Staf Ahli Menteri PPN Bidang Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Bappenas mengatakan, kebutuhan gas dalam negeri pada tahun 2025 diperkirakan 9.200 mmscfd, sementara produksi gas nasional (lifting) hanya 6.600 mmscfd. "Jadi akan ada defisit gas yang cukup besar nanti," kata dia ke Kontan.co.id pada Selasa (10/12).
Baca Juga: PGN kembali raih penghargaan LHKPN terbaik dari KPK
Dia menjelaskan, pihaknya saat ini tengah serius memikirkan bagaimana mengisi defisit ini karena impor gas jelas akan memberi tekanan tambahan pada current account deficit (CAD). Sejalan dengan pencegahan agar Indonesia tidak mengalami defisit gas, infrastruktur gas juga akan dijalankan secara massif secara bersamaan sejalan dengan kebutuhan gas yang membesar.
Rizal bilang, soal infrastruktur, baik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun di rencana lokasi Ibukota Negara ketika dibutuhkan untuk penyaluran maka memang harus dibangun. "Yang jelas infrastruktur penyaluran gas dibangun untuk pemanfaatan dalam negeri, bukan orientasi untuk ekspor," imbuh dia.
Pengembangan infrastruktur di berbagai daerah yang sedang gencar dilakukan pemerintah sejalan juga dengan keinginan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menghadirkan energi yang bersih dari gas bumi.
Pengembangan Infrastruktur PGN Group
Tahun | Panjang Pipa gas PGN |
2013 | 6.014 km |
2014 | 6.067 km |
2015 | 7.026 km |
2016 | 7.278 km |
2017 | 7.453 km |
2018 | 9.916 km |
2019 | Masih prroses pembangunan |
Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengungkapkan, pengalihan kontrak ekspor gas ke dalam negeri akan memperkuat reliabilitas pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan meningkatkan demand gas untuk kebutuhan industri dan kelistrikan serta rumah tangga dalam periode 5-10 tahun ke depan, maka diperlukan jaminan pasokan gas yang cukup.
"Catatan kami saat ini pasokan gas untuk beberapa wilayah di Indonesia sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhan pasarnya. Jawa timur pasokan gas untuk industri defisit sekitar 30-40 BBTUD sehingga perlu pasokan LNG untuk menutup defisit tersebut," ungkap dia.
Jawa Barat, kata Gigih, pasokan gas yang berasal dari wilayah Sumatra Tengah, Sumsel, dan Jabar terkadang mengalami kekurangan karena gangguan pasokan gas dari hulunya, sehingga perlu pasokan LNG melalui FSRU Lampung yang dioperasikan PGN untuk menutup gap tersebut.
Sumatera Utara saat ini produksi gas pipa dari Hulu sangat terbatas sehingga diperlukan pasokan LNG dari Tangguh melalui fasilitas Regasifikasi Pertagas di Arun.
Dengan pemberian alokasi gas pipa dan LNG yang lebih besar ke pasar domestik maka jaminan pasokan gas dan LNG untuk pasokan ke Industri, Kelistrikan, rumah tangga dan komersial akan lebih pasti.
Dengan masalah defisit tersebut, maka kiranya jika PGN menjadi agregator gas maka pihaknya akan mengatur semua pasokan gas yang diberikan pemerintah, nantinya PGN akan menyuplai 3.000 bbtud ke industri pupuk, listrik, industri, rumah tangga dan transportasi. "Kami nanti yang akan menyuplai mereka langsung," ungkap Gigih kepada Kontan.co.id di kantornya, 15 Oktober 2019.
Konsep agregasi adalah semua kuota gas nasional diberikan kepada PGN dan nantinya PGN yang akan mengatur tata niaga gas nasional. Ini agar kebutuhan gas domestik akan terpenuhi secara maksimal. Saat ini masing-masing masih mendapatkan pasokan gas baik itu PLN dan pupuk.
Baca Juga: Kembangkan aplikasi layanan gas bumi, PGN gandeng Mitsui
"Sekarang kami sifatnya baru mendapat jatah 1.000 bbtud dari 3.000 bbtud alokasi. Dari 1.000 bbtud itu 40% untuk PLN, 55% itu untuk industri. Sisanya rumah tangga dan transportasi," imbuh dia.
Gigih menilai, dengan konsep agregasi maka kebutuhan gas yang besar bisa terpenuhi dengan cara menyimpannya dalam bentuk LNG. Konsep agregator gas juga menjadi penting karena bisa memastikan adanya ketahanan energi nasional khususnya pasokan gas.
"Kami sudah punya infrastruktur. Kami simpan gas dalam bentuk LNG. Ini kan namanya ketahanan energi nasional. Mana daerah yang butuh, kami akan pasok," ujar dia.
Baca Juga: Selama ini Industri terbantu dengan keberadaan BUMN Gas
Ia menjelaskan, dengan konsep agregator gas maka akan ada cross subsidi antar konsumen, sehingga harga gas ke konsumen akan kompetitif.
"Setiap industri kan beda-beda harganya karena harga dari hulunya beda-beda. di Jatim dari Husky itu US$ 7-US$ 8 per mmbtu, di Jambaran Tiung Biru itu bisa US$ 6-US$ 7 per mmbtu, kalau agregasi itu ada cross subsidi itu konsumen itu bisa dapat harga yang kompetitif," tutur dia.
Pengelolaan Infrastruktur Milik Pemerintah
Tahun | Panjang Jargas Pemerintah |
2013 | 685 km |
2014 | 979 km |
2015 | 1.495 km |
2016 | 2.375 km |
2017 | 3.299 km |
2018 | 3.838 km |
2019 | Sedang proses pembangunan |
Gigih menjelaskan, dengan adanya sistem agregasi gas nasional maka juga akan mengubah adanya RUPTL yang mana pada tahun 2050 kebutuhan gas bisa menjadi 30% dari sebelumnya hanya 22%.
"Pemerintah akan mempercepat, porsi gas akan semakin banyak. Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024-Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Energi mix berubah karena menginduk ke RPJMN 2020-2024-RUPTL. Bappenas itu mengacu kesana secara nasional dan arah infrastruktur gasnya sudah terlihat," urai dia.
Ia menjelaskan, dalam menggapai rencana sebagai agregator gas nasional pihaknya juga membutuhkan peran dari Kementerian ESDM soal masalah alokasi gas.
"Bagi kami mendapatkan pasokan itu harus jangka panjang. Sebab, misalnya kami mendapat pembeli 20 tahun tentu harus dipenuhi selama 20 tahun. Selain itu juga, alokasi gas bisa point to point. Kami butuh untuk industri di Jawa Tengah, nanti bisa diambilkannya dari sumber mana. Itu peran Kementerian ESDM yang bisa memberikan," tutur dia.
Baca Juga: Erick Thohir akan memperbaiki Holding BUMN bentukan Rini Soemarno
Gigih juga menilai, bahwa sistem kluster gas lebih cocok dijalankan di Indonesia sehingga harga gas di Lampung dan Jawa Barat boleh saja berbeda-beda. Misalnya, nanti dalam kluster harga gas industri tertentu akan sama, yakni industri pangan, keramik, chemical harganya US$ 8 per mmbtu, sektor kelistrikan dan pupuk harganya US$ 6 per mmbtu, dan sektor petrokimia harganya US$ 7 per mmbtu.
"Jual gasnya sesuai kemampuan konsumen masing-masing. Black Box-nya kita yang pegang. Yang penting pasokan gas lancar dan kebutuhan domestik terpenuhi," imbuh dia.
Mengelola pasokan gas kata Gigih tidak mudah, sebab beberapa waktu lalau ConocoPhilips melakukan perawatan selama satu minggu dan PGN kehilangan 400 mmscfd. "PGN tidak bisa salurkan gas karena masalah perawatan di hulu. Kalau memakai sistem agregator gas atau sistem kuota, PGN bisa mencari gas dari sumber lain," ujar dia.
Menurut Gigih, jika sistem agregator gas terlaksana maka kebutuhan gas akan terpenuhi, sehingga yang menjadi konsen pemerintah nantinya di sektor gas ini adalah soal pengawasan terhadap adanya kelangkaan. "Sama seperti BBM, yang penting tidak langka karena sudah diberikan keleluasaan sebagai agregator gas," ungkapnya.
Langkah Cepat PGN
Sementara itu, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan gas pihaknya memang sudah memikirkan adanya pasokan yang pasti dan jangka panjang. Saat ini pasokan gas yang diperoleh PGN dari sumbernya memang sudah akan habis. Maka dari itu, PGN terus mencari sumber-sumber baru yang dekat dengan infrastruktur gas PGN.
"Misalnya di Sumatra diambil dari gas di Blok Corridor," ujar dia.
Dia menerangkan di Kaltim pasokan gas yang diperoleh PGN sekiranya hanya akan bertahan produksinya hanya sampai 7 tahun sampai 10 tahun. "Kalau kita lihat sumber gas yang berdekatan dengan infrastruktur PGN, kami akan support Blok Saka Kemang (Repsol) maka dari itu kami cepat menekan jual beli gas dengan mereka," ujar dia.
Baca Juga: Pertamina terus upayakan pengeboran awal di Blok Rokan
Sementara untuk Blok Masela, kata Gigih bisa disiasati dengan LNG karena di sana belum ada infrastruktur gas PGN. Maka dari itu, di daerah Maluku harus segera dibangun kawasan industri sehingga PGN bisa masuk untuk memenuhi pasokan gas di sana.
"Industri petrokimia paling cocok dibangun disana, dengan harapan industri itu dikembangkan Maluku sebab sumber gasnya dekat. Apakah kita mendekati sumber bahan baku atau ke pasar?" imbuh dia.
Maka dari itu, salah satu contoh rencana PGN mengembangkan suatu wilayah agar energinya berbasis gas ada pada Kawasan Ekonomi Khusus. "Jadi ini memang terintegrasi dari pemerintah, kami diskusinya dengan Bappenas membuat blue print pengembangan industri kawasan dan infrastruktur," ujar dia.
Dia mengatakan, untuk mengembangkan suatu kawasan ekonomi tentu harus disesuaikan dengan karakter daerah tersebut. misalnya di Sumatra Utara pariwisata dan mining, Sumatra Selatan bisa bertema perkebunan.
"Mereka menganalisis yang cocok. sebagai sumber energi itu menyesuaikan. kita pasang pipa atau kami ambil dalam bentuk LNG, Small LNG dan Regas," kata dia.
Kata Gigih, rencana itu yang ingin PGN sampaikan ke pemerintah agar pemanfaatan gas di dalam negeri sesuai juga dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus.
Jargas Prioritas
Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengatakan pihaknya jika diberikan kewenangan yang besar akan menggandeng mitra swasta untuk membangun infrastruktur pipa gas bumi untuk keperluan rumah tangga. "Pipa bisa dibangun mitra, tetapi gas dari PGN." imbuh dia.
Dia menjelaskan saat ini PGN tengah menjajaki dengan perusahaan karya untuk membangun 500.000 sambungan rumah tangga, nantinya mereka yang akan membangun jargas tersebut dan PGN yang akan memanfaatkan. "Untuk investasi pipa gas ini BEP 7 tahun dengan IRR 11%. Jadi buat investor ini menarik selama ada kepastian alokasi gas dan harga komersial," ungkap dia.
Gigih menyatakan, untuk tahap awal akan membangun 50.000 sambungan rumah tangga menunggu kepastian alokasi gas dari pemerintah karena hal itu sangat penting guna memastikan pelanggan mendapatkan gas selama kurun waktu panjang. "Sekarang kami memang fokus menyediakan gas di Kawasan Ekonomi Khusus, Rumah Tangga, dan bermitra," ujar dia.
Dia menjelaskan, rencana PGN melakukan kerjasama dengan mitra karena investasi membangun Jargas itu memang besar sekitar 100.000 sambungan itu perlu Rp 1 triliun. "Kami diminta bangun 5 juta sambungan dengan biaya Rp 18 triliun," kata dia.
Gigih menyatakan, pembangunan Jargas harus massif bukan hanya 100.000 sambungan jargas setahun, tetapi kalau bisa jutaan sambungan sebab penduduk di Jawa saja ada 60 juta. "Utilisasi kita masih rendah untuk Jargas," ujar dia.
Selain rumah tangga, sektor komersial seperti mall juga semakin banyak permintaan karena mayoritas peminat dari sektor kuliner. "Kami layani Plaza Senayan, Plaza Indonesia, Pacific Place, dan banyak lagi," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News