kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,60   -28,13   -2.92%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PGN tengah melakukan survei di Jabar dan Jatim untuk menyesuaikan harga gas


Kamis, 26 September 2019 / 17:52 WIB
PGN tengah melakukan survei di Jabar dan Jatim untuk menyesuaikan harga gas
ILUSTRASI. Gigih Prakoso, Dirut PT Perusahaan Gas Negara (PGN)


Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS, anggota indeks Kompas100 ini) masih menanti hasil survei internal sebelum menaikkan harga gas industri per 1 Oktober 2019 nanti.

Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengungkapkan survei dilakukan di Jawa Barat dan Jawa Timur dan masih berlangsung hingga kini. "Survei masih berlangsung, kami akan kaji hasil survei dan masukan dari industri," terang Gigih ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis  (26/9).

Baca Juga: Kurs dolar sudah naik 50% sejak 2013, sudah waktunya harga gas disesuaikan...

Lebih jauh Gigih menjelaskan, PGN telah melakukan diskusi dengan 80% pelanggan mengenai rencana tersebut. Menurutnya, para pelanggan memberikan tanggapan yang positif atas rencana tersebut.

Kendati demikian, Gigih belum bisa memastikan apakah akan ada revisi kontrak dengan pelanggan berhubung rencana kenaikan harga gas industri tersebut. "Kami belum bicarakan," ujar Gigih.

Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, para pengusaha menolak rencana kenaikan harga gas industri, mulai 1 Oktober 2019. Bila PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) tetap mengimplementasikan harga baru, para pelaku industri berkeras tidak akan membayar selisih kenaikan harga tersebut.

Lewat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pebisnis menyakini penolakan itu tidak akan melanggar kontrak antara PGAS dan pelaku usaha. Pasalnya, penetapan harga gas selama ini sudah sesuai kontrak selama lima tahun dengan PGAS. 

Menanggapi hal tersebut, Gigih meyakinkan tidak ada dampak yang signifikan bagi PGN. Menurutnya, jika pemerintah mengacu pada Perpres 40/2016 dan menetapkan harga gas industri sebesar US$ 6 per mmbtu maka PGN tetaplah sebagai penyalur dan dapat mengenakan Investment Rate Return pada pelanggan.

Baca Juga: PGN terancam kehilangan profit US$ 17,3 juta akibat gas dari Kepodang berhenti

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Aturan tersebut mengatur margin niaga gas maksimal hanya 7% dan Internal Rate of Return (IRR) sebesar 11%.

"PGN akan diberikan IRR maksimum 11% untuk investasi di jaringan pipa tersebut, untuk saat ini IRR PGN masih dibawah angka itu," terang Gigih.

Gigih menambahkan, pihaknya hingga kini masih terus mengupayakan semua rencana berjalan sesuai jadwal.

Dalam pemberitaan Kontan.co.id, PGAS berniat mengerek harga gas melalui surat edaran dengan nomor 037802.S/SP.01.01/BGP/2019. Dalam surat tersebut, manajemen PGAS akan mengerek harga gas bagi pelanggan komersial dan industri untuk implementasi Pengembangan Produk dan Layanan.

Berdasarkan informasi dari Kadin Indonesia, rencana kenaikan harga gas berkisar 12% hingga 15%. Dengan rata-rata harga gas untuk industri saat ini sebesar US$ 9 per mmbtu, maka rata-rata harga gas setelah kenaikan berkisar US$ 10,08–US$ 10,35 per mmbtu.

Pengusaha berpendapat, rata-rata harga ideal gas industri US$ 6 per mmbtu. Level tersebut merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Baca Juga: Adu Kuat Pebisnis dan PGAS di Harga Gas premium

Sementara itu, Corporate Secretary PGN Rachmat Hutama menilai harga gas bumi kepada sektor industri di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan harga di Singapura dan Cina.

Ia menjelaskan, konsumen industri Singapura membeli gas dengan kisaran US$ 12,5 - US$ 14,5 per MMBtu. Sementara industri di Cina harus membayar sekitar US$ 15 per MMBtu.

"PGN menjual gas kepada pelanggan akhir berkisar antara US$ 8 - US$ 10 per MMBtu. Harga itu terbentuk dari berbagai sumber baik gas sumur maupun LNG yang harganya jauh lebih tinggi," jelas Rachmat

Rachmat menegaskan, sejak tahun 2013 PGN tidak pernah menaikkan harga gas kepada konsumen industri. Sementara biaya pengadaan gas, biaya operasional dan kurs US$ terus meningkat. Secara akumulasi, sejak 2013 hingga saat ini kurs US$ telah mengalami kenaikan hingga 50 persen. Biaya pengadaan gas selama ini menggunakan patokan US$.

"Dengan beban biaya yang terus meningkat tentunya ruang bagi PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi menjadi makin terbatas. Sementara banyak sentra-sentra industri baru, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang belum terjamah gas bumi," tegas Rachmat.

Baca Juga: Tak mau harga gas naik, Kadin dan pelaku industri ancam akan bayar pakai harga lama

Asal tahu saja, sebagai subholding gas bumi, PGN telah membangun jaringan gas hingga lebih dari 10 ribu kilometer. Panjang pipa gas PGN ini hampir dua kali lipat dibandingkan jaringan gas milik Malaysia dan Thailand, serta 4 kali lipat lebih panjang daripada jaringan gas di Singapura. Sedangkan di Cina jaringan pipa yang terbangun mencapai lebih dari 40 ribu kilometer.

Disisi lain, Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, harga gas mestinya turun demi meningkatkan daya saing industri. Apalagi, harga gas yang turun bisa menambah pendapatan negara.

Sebagai gambaran, setiap harga gas turun US$ 1 per mmbtu, secara agregat pendapatan negara bisa bertambah Rp 21 triliun. "Pun sebaliknya," jelas Sigit. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×