Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) semakin menekan industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL). Pasalnya selama ini, industri HPTL telah menanggung beban pungutan cukai yang cukup tinggi.
Ketua Asosiasi Penghantar Nikotin Elektrik (Apnnindo) Roy Lefrans mengatakan, di saat pandemi dan PPKM, industri HPTL merupakan salah satu industri yang paling terpukul bisnisnya. Sebab, selain beban tarif cukai yang tinggi, saat ini sudah terkena dampak penurunan daya beli.
“Jadi industri HPTL ini menanggung beban ganda. Tarif cukai yang tinggi, ditambah tren penurunan penjualan akibat pandemi. Tanpa ada PPKM pun sebenarnya penjualan sudah menurun karena daya beli masyarakat menurun,” kata Roy dalam keterangannya, Senin (2/8).
Baca Juga: Raksasa Rokok Dunia Siap Menjajal Bisnis Ganja
Ia menjelaskan akibat pandemi, saat ini banyak toko-toko pengecer HPTL yang gulung tikar akibatnya berkurangnya kunjungan konsumen.
Meski tak menyebut angka pastinya, namun Roy mengatakan jumlah peritel HPTL yang gulung tikar cukup signifikan, sehingga berdampak langsung kepada penyerapan tenaga kerjanya.
Sementara beberapa pelaku lain mencoba mencari selamat dengan mengalihkan fokus penjualan secara daring.
Lantaran masih baru pula, industri HPTL masih ditopang oleh pelaku usaha skala UMKM yang pertumbuhannya masih sangat terbatas.
Oleh karenanya yang menjadi fokus industri HPTL saat ini adalah untuk mempertahankan keberlangsungan industri tanpa perlu melakukan pengurangan pekerja.
“Saat ini, kami sudah tidak bicara bagaimana meningkatkan omzet, atau keuntungan. Fokus kami saat ini bagaimana bisa bertahan di masa pandemi. Objektifnya bukan lagi soal profit, namun bagaimana untuk survive, tetap produksi, kemudian tidak mengurangi karyawan,” ujar Roy.
Baca Juga: Miliarder China ini Sukses Berinovasi di Bisnis Vape (Selesai)
Tidak hanya pengecer, tekanan serupa juga dialami seluruh lini industri HPTL mulai dari hulu sampai hilir. Tutupnya toko-toko pengecer HPTL membuat tujuan distribusi berkurang sehingga distributor juga mulai pasokan barang. Hal ini kemudian memaksa produsen mau tidak mau harus mengurangi produksinya.
Melansir keterangan dari Kementerian Perindustrian, meski relatif baru, pertumbuhan industri HPTL sejatinya terjadi cukup signifikan. Tahun lalu diperkirakan ada lebih dari 50.000 pekerja yang diserap industri ini. Lebih lanjut ada sekitar 500 produsen, 150 distributor atau importir, dan 5.000 lebih pengecer.
“Namanya industri, kalau satu lininya bermasalah pasti akan berdampak kepada lini lainnya. Toko ritel tutup, distributor berkurang sehingga yang mengambil barang dari produsen juga berkurang. Pada akhirnya produsen juga akan mengurangi produksi, atau yang sudah terlanjur harus menanggung kerugian,” jelas Roy.
Guna meringankan beban sekaligus menjaga keberlangsungan industri serta pemasukan negara, Apnnindo berharap pemerintah dapat memberikan keringanan terhadap industri HPTL.
Misalnya dengan mengatur ulang atau setidaknya tidak meningkatkan tarif cukai HPTL. Sebab saat ini, industri HPTL telah menanggung tarif cukai yang tinggi, sebesar 57% dari harga jual eceran (HJE).
Insentif baik fiskal maupun non fiskal juga diharapkan Appnindo dapat diberikan oleh pemerintah guna menjaga kebertahanan industri HPTL. Termasuk juga agar penanganan pandemi dapat dilakukan secara efektif, guna meningkatkan kembali daya beli masyarakat.
Baca Juga: Kisah Wanita Milenial Sukses Membangun Bisnis Vape di China (Bagian-1)
Sebagai gambaran saja, sejak dilegalkan pada akhir 2018, penerimaan cukai HPTL terus tumbuh signifikan. Misalnya di tahun 2018 HPTL menyumbang cukai Rp 99 miliar, kemudian meningkat lagi menjadi Rp 427 miliar pada 2019. Dan pada tahun 2020 lalu, HPTL menyumbang kepada kas negara dari cukai sebesar Rp 689 miliar.
Tahun ini diperkirakan penerimaan cukai HPTL tidak akan tumbuh positif, dikarenakan para pelaku HPTL telah mengurangi pemesanan pita cukai tahun ini akibat pengurangan produksi yang dilakukan.
“Tahun ini pemesanan pita cukai direm karena produksi juga berkurang. Sebenarnya sejak kuartal II 2020, sudah mulai ada tren penurunan pemesanan pita cukai. Per kuartal tahun ini mungkin hanya Rp 100 miliar, itu pun masih banyak produk berpita cukai tahun lalu yang belum terserap oleh pasar,” pungkas Roy.
Kelonggaran yang didapat oleh pelaku usaha kecil seperti rumah makan yang kini boleh beroperasi secara terbatas juga diharapkan Roy dapat diberikan kepada toko-toko pengecer HPTL.
Hal ini diperlukan untuk menjaga agar mereka dapat tetap beroperasi sehingga tak perlu memberhentikan pekerja yang bergantung dari industri ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News