kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,28   10,97   1.21%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PLN buka-bukaan soal hambatan dan strategi dalam implementasikan EBT di Indonesia


Senin, 15 November 2021 / 16:58 WIB
PLN buka-bukaan soal hambatan dan strategi dalam implementasikan EBT di Indonesia


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PLN (Persero) harus menghadapi sejumlah tantangan dalam mewujudkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT). 

Pasalnya, saat ini PLN masih menghadapi banyak persoalan seperti penyelesaian proyek mega listrik 35 GW yang didominasi pembangkit fosil, oversupply listrik, hingga mengejar target Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030 mendatang. 

Edwin Nugraha Putra, EVP Electricity System Planning PT PLN, memaparkan terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi PLN saat ini. Tantangan terbesar adalah meneruskan pembangunan pembangkit fosil bersamaan dengan menekan emisi karbonnya. 

Edwin menjelaskan, dalam beberapa tahun mendatang, PLN sedang menyelesaikan program 35 GW yang didominasi pembangkit fosil. Pembangkit-pembangkit ini akan masuk secara bertahap mulai dari 2021 hingga 2023 nanti. 

Baca Juga: Kementerian ESDM minta PLN benahi sistem kontrak batubara

"Ini akan membuat PLN dalam kondisi oversupply karena memang beban listrik sekarang ini turun sangat rendah disebabkan oleh pandemi," jelasnya dalam acara acara CEO Live Series-3 - Sustainability Action yang disiarkan secara virtual, Senin (15/11). 

Menurut hitung-hitungan PLN, beban listrik pada 2019 direncanakan sebelumnya, baru akan kembali di 2022 nanti. Artinya, terjadi 3 tahun perlambatan beban listrik. Bersamaan dengan melambatnya beban listrik ini, infrastruktur pembangkit fosil sudah mulai masuk. 

"Tantangannya, bagaimana fosil dapat kami pakai berkesinambungan menuju ke arah renewable energy tadi. Makanya sebagian batubara kami coba operasikan dengan biomassa. Ini bisa meningkatkan bauran energi terbarukan hampir mencapai 6% tanpa mengeluarkan capex baru, cukup opex mengganti batubara dengan biomassa. Syukur-syukur kalau harga biomassa sama dengan batubara," ujar Edwin. 

Tantangan kedua ialah, bagaimana pada 2025 target bauran EBT sebesar 23% bisa tercapai. 

Edwin menjelaskan, untuk menjawab tantangan tersebut, PLN memfokuskan agenda menggantikan PLTD di daerah remote digantikan dengan PLTS. Pertimbangannya, saat ini harga diesel masih mahal atau sekitar 30 cent, sedangkan kalau PLTS menggunakan baterai harganya dapat dimungkinkan sekitar 25 cent. Edwin mengungkapkan, ada 450 lokasi dengan besar 588 MW PLTD dengan potensi konversi ke PLTS sebesar 1,2 GW. 

Selain itu, PLN juga sudah berencana untuk mempensiunkan pembangkit fosil yang sudah tua atau berusia 40 tahun. Edwin mengatakan, dengan pemensiunan tersebut maka terbuka kesempatan EBT untuk masuk. 

Dia menegaskan, bagi PLTU yang sudah terkontrak akan terus dijalankan, dengan catatan memanfaatkan teknologi untuk menekan emisi yang dibuang, semisal dengan CCUS. Meskipun CCUS belum diimplementasikan di PLN karena teknologinya yang mahal, Edwin memproyeksikan dalam 10 tahun sampai 15 tahun mendatang, harga teknologi ini bisa lebih mapan. 

Salah satu hambatan yang dihadapi PLN dalam proses transisi PLTU batubara ke energi bersih adalah soal teknologi serta biaya yang mahal. Edwin mencontohkan, Mislanya saja PLTU digantikan oleh PLTS yang  kesediaannya hanya di siang hari. 

Jikalau menggunakan teknologi baterai, keterbatasan yang dihadapi PLN adalah soal harganya. Namun, PLN juga sedang melihat opsi dan potensi lainnya seperti teknologi redox flow yang ditengarai biayanya lebih murah. 

Edwin menegaskan, EBT merupakan keniscayaan karena ke depannya sumber kelistrikan akan berasal dari energi bersih. Maka dari itu, PLN memerlukan dukungan dari pemerintah dan luar negeri yang memang berusaha membantu memensiunkan pembangkit fosil. 

Baca Juga: Kementerian ESDM cabut sanksi ekspor bagi delapan perusahaan batubara

Edwin bilang, pembangunan PLTU dibangun atas dasar kontrak yang mengikat, kalau dipensiunkan tentu harus ada penanggulangan berupa kompensasi. Pada COP26 kemarin, ada beberapa pola yang ditawarkan perihal energy transision mechanisme yang saat ini sedang dikaji PLN,  mana yang bisa diterapkan dan tidak membebani subsidi serta kompensasi negara. 

"Pendanaan yang datang tidak seolah-olah kemudian dapat gratisan, tentu ada permintaan dari mereka untuk membangun EBT atau PLTS. Tetapi kita tidak mau dikunci pembangunan PLTS dan melepas peluang kita mendapat harga termurah," tegasnya. 

Edwin menegaskan, pihaknya tidak mau membangun PLTS tetapi komponennya diimpor semua. Dia bilang, Indonesia harus membangun industri PLTS, sehingga bisa menjadi raja di negeri sendiri. Edwin cukup yakin karena kebetulan teknologi PLTS masih sangat memungkinkan  untuk diproduksi dalam negeri. 

Edwin mengakui, hal ini yang sedang dikaji oleh Kementerian ESDM, BUMN, dan Kementerian Keuangan bagaimana formulasi terbaik dalam menanggulangi pemensiunan PLTU. 

Selanjutnya: Indonesia Power targetkan instalasi PLTS Terapung di Saguling

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×