Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan segera menetapkan mitra untuk pengembangan tiga Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN Gregorius Adi Trianto mengungkapkan, PLN berkomitmen untuk terus mengakselerasi transisi energi di Indonesia.
Pengembangan panas bumi pun menjadi salah satu strategi yang dijalankan. PLN tercatat tengah mendorong kerjasama untuk pengembangan sembilan WKP yang dibalut dalam skema sharing investment Geothermal Exploration and Energy Development Agreement (GEEDA).
"Terdapat tiga WKP yang telah mencapai tahap evaluasi penetapan mitra. Adapun ketiga WKP tersebut ialah WKP Songa Wayaua, WKP Atadei dan WKP Kepahiang," kata Gregorius kepada Kontan, Selasa (23/1).
Meski demikian, Gregorius tak merinci lebih jauh siapa saja calon mitra yang berpotensi digandeng perusahaan setrum pelat merah tersebut.
Baca Juga: Keekonomian Proyek Masih Jadi Tantangan Pembangkit Panas Bumi
Adapun 9 lokasi geothermal yang akan segera dikembangkan PLN dengan potensi mencapai 260 MW meliputi Tulehu di Maluku Tengah, Atadei di Nusa Tenggara Timur, Songa Wayaua di Halmahera Selatan, Tangkuban Perahu di Jawa Barat, Ungaran di Jawa Tengah, Kepahiang di Bengkulu, Oka Ile Ange di NTT, Gunung Sirung di NTT, Danau Ranau di Sumatra Selatan dan Lampung Barat.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai skema ini perlu didorong.
"Ini terobosan yang bagus untuk meminimalkan risiko investasi dan mendorong pengembangan panas bumi lebih baik lagi," terang Komaidi.
Komaidi menjelaskan, sampai saat ini tantangan yang melingkupi industri panas bumi masih berfokus pada keekonomian proyek yang berkaitan juga dengan harga jual listrik yang dihasilkan.
Baca Juga: Inalum Butuh Listrik 1 GW Buat Tambah Kapasitas Smelter, PLN Bisa Penuhi?
"Jangka waktu (pengembangan) cukup panjang sementara pembelinya masih tunggal yaitu PLN. Jadi kalau PLN tidak mau membeli (listrik) dengan argumentasi lebih mahal dibandingkan yang rata-rata mereka beli ya gak akan salah, selama ini itu yang terjadi," ujar Komaidi.
Menurutnya, persoalan lain merupakan turunan dari aspek keekonomian proyek seperti perizinan, investasi pada daerah terpencil hingga konflik penggunaan lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News