kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.416.000   13.000   0,54%
  • USD/IDR 16.716   -9,00   -0,05%
  • IDX 8.701   43,74   0,51%
  • KOMPAS100 1.192   9,86   0,83%
  • LQ45 857   8,90   1,05%
  • ISSI 313   3,67   1,19%
  • IDX30 441   3,08   0,70%
  • IDXHIDIV20 510   2,90   0,57%
  • IDX80 134   1,32   1,00%
  • IDXV30 140   0,58   0,42%
  • IDXQ30 140   0,80   0,58%

PLTU Cirebon-1 Gagal Pensiun Dini, METI: Bakal Terdampak pada Investasi EBT


Rabu, 10 Desember 2025 / 19:02 WIB
PLTU Cirebon-1 Gagal Pensiun Dini, METI: Bakal Terdampak pada Investasi EBT
ILUSTRASI. Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Minggu (30/11/2025). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun dan dioperasikan oleh PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nilai investasi sekitar Rp2,6 triliun itu merupakan tulang punggung dari sistem kelistrikan di Sulawesi Tenggara, yang mensuplai kebutuhan listrik wilayah Sulawesi Tenggara melalui jaringan interkoneksi 150 Kv sistem Sulawesi Tenggara – Sulawesi bagian Selatan. ANTARA FOTO/Andry Denisah/foc.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Zulfan Zahar mengungkap bahwa batalnya pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan berdampak pada rencana investasi sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) ke depan, terutama di pulau Jawa.

Meski begitu, Zulfan menyebut terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan jika ingin melakukan early retirement atau pensiun dini PLTU.

"Dampak ke transisi energi ini, kami juga realistis terhadap apa yang sudah dan belum dilakukan pemerintah dalam hal ini PLN. Transisi ini dilakukan adanya pembangunan pembangkit gas, lalu paralel disusun dengan adanya pembangkit EBT," ungkap Zulfan kepada Kontan, Rabu (10/12/2025).

Dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Zulfan menyebut diperlukan persiapan pembuatan turbin yang dapat memakan waktu 4-5 tahun sebelum siap digunakan.

Baca Juga: Pembatalan Pensiun Dini PLTU Cirebon-1: Pemerintah Cari Alternatif

"Untuk membangun pembangkit gas juga tidak mudah, karena waktu tunggu dari pabrikan turbin gas, itu 4-5 tahun deliveri, itu akhirnya bisa menyebabkan kelangkaan listrik kalau Cirebon-1 dimatikan. Sehingga kita dari METI Juga berpikir realistis untuk menjaga listrik di Pulau Jawa," jelas dia.

Menurutnya saat ini METI tidak berfokus pada target Phase down PLTU atau pengurangan penggunaan dan operasional PLTU secara bertahap dan juga tidak fokus pada target phase out atau program penghentian bertahap atau pensiun dini PLTU.

"Tapi kami melihat apakah pemerintah akan mempercepat adanya pengadaan pembangkit EBT secara paralel, dengan pembangkit gas. Ke depannya kami harap kebijakan suntik mati dipertimbangkan kembali," kata dia.

METI ungkap Zulfan juga telah memberikan masukan atas revisi Perpres 112 Tahun 2022 yang mengatur percepatan pengembangan energi terbarukan (EBT) untuk listrik.

"Kami meminta saran untuk dimasukkan ke dalam revisi, termasuk atribut hijau, pola pengadaan, PLTA ditunjuk langsung dan beberapa hal terkait revisi tersebut, sudah kami sampaikan, 9 dari 10 usulan kami sudah diterima," jelas dia.

Baca Juga: PLTU Ombilin Berpotensi Gantikan PLTU Cirebon-1 untuk Pensiun Dini, Ini Alasannya

Sebelumnya, dalam catatan Kontan, Policy Strategist CERAH Naomi Devi Larasati menilai, revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik melonggarkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

“Sejumlah perubahan dalam rancangan beleid ini justru membuka peluang lebih lebar pembangunan PLTU,” ucap Naomi dalam keterangannya, Senin (17/11/2025).

Mengacu dokumen konsultasi publik, Pasal 3 Perpres 112/2022 akan diubah untuk menambahkan pengecualian pembangunan PLTU baru dengan alasan menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.

Pengecualian pembaruan PLTU baru tersebut disertai dengan sejumlah syarat, yakni melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2025.

Pengurangan GRK dapat ditempuh melalui pengembangan teknologi PLT Hibrida, PLTU cofiring, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan; dan mendukung pencapaian NZE pada tahun 2060 sesuai dengan KEN.

Ia menyoroti beleid yang masih berlaku saat ini telah memberikan pengecualian bagi pembangunan PLTU untuk yang telah ditetapkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) serta PLTU yang terintegrasi dengan industri yang dibangun untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, atau termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Adanya pengecualian, meskipun disertai syarat komitmen penurunan emisi, akan tetap menambah kapasitas PLTU sehingga struktur energi nasional masih bertumpu pada batu bara,” kata dia.

Baca Juga: IESR: Revisi Perpres 112 Berpotensi Menambah PLTU Batubara Baru di Indonesia

Selanjutnya: Mensesneg Tinjau Posko Bantuan di Lanud Halim, Pastikan Logistik Tersalurkan

Menarik Dibaca: Persib Bandung vs Bangkok United di ACL 2: Prediksi Skor, Head to head, dan Line up

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×