kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Plus minus kebijakan impor sapi zona base


Rabu, 30 Maret 2016 / 11:41 WIB
Plus minus kebijakan impor sapi zona base


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Australia dan Selandia Baru bukan lagi satu-satunya negara pemasok sapi ke Indonesia. Pasca diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016 yang memperluas zona impor sapi dari selama ini berbasis negara (based country) menjadi berbasis zona (zone based), Indonesia bisa mengimpor sapi dari negara mana pun, termasuk India.

PP yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 8 Maret 2016 lalu ini sudah dapat dieksekusi. Dalam implementasinya, hanya BUMN dan BUMD yang berwenang mengimpor sapi maupun daging sapi. Itupun baru bisa dilakukan dalam kondisi tertentu seperti adanya kenaikan harga sapi di atas 30% dari harga patokan pasar (HPP), bencana alam, dan wabah penyakit.

Namun, kebijakan ini tetap mendapat banyak penolakan dari sejumlah kalangan. Pasalnya, kebijakan impor sapi berdasarkan zona base berpotensi kembalinya penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi domestik. Selama ini, sapi dalam negeri sudah diakui bebas dari PMK. Bila hal ini terjadi, maka otomatis akan mempercepat peredaran wabah penyakit sapi di Indonesia.

Ketua Komite Daging Jakarta Raya Sarman Simanjorang mengataka,n kebijakan zona based lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Menurutnya, PP No.4/2016 telah menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia, sebab sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan kebijakan serupa.

Selain itu, mengimpor sapi dari negara lain selain Australia dan Selandia Baru yang sudah bebas PMK 100%, belum tentu menjamin daging dan sapi tersebut sudah bebas penyakit. Padahal higienitas dan kebersihan daging yang diimpor juga sangat penting bagi kesehatan.

"Juga membutuhkan waktu dan energi untuk mengecek lagi, apakah benar daging sapi yang diimpor dari India misalkan sudah benar-benar bebas dari PMK atau belum," ujar Sarman kepada KONTAN, Selasa (29/3).

Sementara dari sisi keuntungannya, bila Indonesia mengimpor daging sapi dari negara lain, maka Indonesia bisa menentukan negara mana yang menjual dengan harga rendah. Dengan begitu, harga daging sapi di dalam negeri berpotensi diturunkan. Namun risikonya, bila harga daging sapi turun, maka peternak sapi lokal akan berteriak. Sebab murahnya harga daging sapi membuat peternak lokal rugi dan bangkrut.

Selain itu, BUMN dan BUMD yang ditugaskan mengimpor sapi belum tentu berpengalaman dan memiliki jaringan dalam tata niaga daging sapi. Ambil contoh Perum Bulog yang sempat mengimpor sapi, sampai saat ini masih memiliki stok yang besar. Artinya, sekelas Bulog saja tidak mampu memasarkan sapi dalam waktu cepat dan menjangkau semua kalangan.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menambahkan, impor daging sapi dari negara yang belum bebas PMK tidak otomatis menurunkan harga daging sapi dalam negeri. Selain itu, bila sapi diimpor dari negara lain seperti Meksiko dan Brazil butuh biaya transportasi yang besar dibandingkan impor dari Australia dan Selandia Baru.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakn PP No.4/2016 apakah sudah melindungi hak-hak warga negara. Sebab bila harga daging terlalu murah, peternak lokal yang menderita kena imbasnya.

Menurutnya, bila pemerintah ingin menekan harga daging lokal, maka tinggal memberikan izin impor sapi bakalan sebanyak-banyaknya. Sebab bila jumlah sapi yang dipotong banyak, otomatis harga akan turun atau stabil.

Sementara itu, bila tujuan pemerintah menuju swasembada daging, maka yang perlu ditingkatkan populasi sagi dalam negeri melalui pengembangan breeding (pembibitan) sapi. Namun bila mengimpor sapi dari negara yang belum bebas PMK justru berpotensi membawa penyakit PMK ke Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×