Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
Penambang Kecil dan Bauksit Terimbas
Masalah serupa juga dirasakan oleh pelaku tambang nikel dan bauksit. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat, smelter kerap membeli bijih nikel di bawah HPM yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno, kondisi ini paling sering menimpa penambang kecil pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Smelter stand-alone yang tidak punya tambang sendiri menggunakan Izin Usaha Industri (IUI) dari Kemenperin. Karena mereka tidak terikat aturan IUP, posisi tawar penambang kecil jadi lemah dan terpaksa menjual di bawah HPM,” kata Djoko.
Nasib serupa juga dialami Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI). Ketua ABI Ronald Sulistyanto menyayangkan pencabutan Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang HPM.
Baca Juga: Kementerian ESDM Tegaskan Pembelian Bijih Bauksit dalam Negeri Harus Sesuai HPM
Menurutnya, pencabutan aturan tersebut justru merugikan penambang.
“Kalau HPM dihapus, penambang kehilangan perlindungan. Refinery bisa membeli bijih bauksit di bawah harga acuan. Akhirnya kontrak direvisi dan harga jatuh,” kata Ronald kepada Kontan.co.id, Selasa (9/9/2025).
Ronald menambahkan, kapasitas refinery bauksit saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penambang.
Ditambah lagi, tonase yang diberikan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lebih besar dari kebutuhan pasar.
“Daripada tidak ada yang membeli, penambang akhirnya terpaksa menjual dengan harga rendah,” tutupnya.
Selanjutnya: Wika Gedung (WEGE) Targetkan Divestasi Aset Rp 100 Miliar pada Tahun 2026
Menarik Dibaca: Bank Digital Ini Siapkan Layanan Pintar untuk Bantu Atur Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News