Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga jual komoditas tambang di dalam negeri, terutama untuk jenis komoditas yang saat ini dilarang ekspor, masih banyak yang berada di bawah Harga Patokan Mineral (HPM).
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi pelaku usaha tambang, terutama di tengah keterbatasan kapasitas smelter dalam negeri.
Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, penjualan di bawah HPM umumnya terjadi karena jumlah smelter atau pabrik pemurnian yang masih terbatas. Akibatnya, posisi tawar penambang menjadi lemah.
Baca Juga: HPM Jadi Penyebab Bijih Bauksit dan Feronikel Aneka Tambang (ANTAM) Sulit Terjual
“Kalau melihat peraturannya, pemerintah fokus pada ujung rantai penjualan mineral, yaitu penerimaan pajak. Jadi selama pembayaran pajaknya mengikuti harga tertinggi, itu yang dilihat,” ujar Hendra kepada Kontan.co.id Rabu (15/10/2025).
Ia menjelaskan, meskipun sebagian besar smelter masih membeli komoditas di bawah HPM, penambang tetap membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berdasarkan harga jual tertinggi. Situasi ini menimbulkan ketimpangan antara harga transaksi riil dan kewajiban pajak.
“Pengusaha juga berada dalam posisi dilematis. Ketika harga komoditas turun, sebagian memilih menjual meskipun di bawah HPM agar produk tetap terserap, daripada tidak laku sama sekali,” tambah Hendra.
Saat disinggung mengenai sanksi pemerintah terhadap praktik ini, Hendra menegaskan belum ada langkah konkret.
“Sejauh ini belum ada sanksi ke smelter. Pemerintah lebih menekankan kepastian pembayaran pajaknya,” ujarnya.
Baca Juga: Cita Mineral (CITA) Tegaskan Patuh HPM dalam Penjualan Bauksit ke WHW
Pemerintah Evaluasi HPM dan HBA
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengakui praktik penjualan mineral di bawah HPM memang masih terjadi.
Ia menyebut pemerintah saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap Harga Patokan Mineral (HPM) dan Harga Batubara Acuan (HBA).
“Sekarang lagi kita evaluasi. Pak Menteri (Bahlil Lahadalia) juga sudah minta agar HPM dan HMA dievaluasi,” ungkap Tri.
Baca Juga: Penambang Nikel Sebut Ada Smelter Beli Nikel di Bawah HPM
Penambang Kecil dan Bauksit Terimbas
Masalah serupa juga dirasakan oleh pelaku tambang nikel dan bauksit. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat, smelter kerap membeli bijih nikel di bawah HPM yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno, kondisi ini paling sering menimpa penambang kecil pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Smelter stand-alone yang tidak punya tambang sendiri menggunakan Izin Usaha Industri (IUI) dari Kemenperin. Karena mereka tidak terikat aturan IUP, posisi tawar penambang kecil jadi lemah dan terpaksa menjual di bawah HPM,” kata Djoko.
Nasib serupa juga dialami Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI). Ketua ABI Ronald Sulistyanto menyayangkan pencabutan Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang HPM.
Baca Juga: Kementerian ESDM Tegaskan Pembelian Bijih Bauksit dalam Negeri Harus Sesuai HPM
Menurutnya, pencabutan aturan tersebut justru merugikan penambang.
“Kalau HPM dihapus, penambang kehilangan perlindungan. Refinery bisa membeli bijih bauksit di bawah harga acuan. Akhirnya kontrak direvisi dan harga jatuh,” kata Ronald kepada Kontan.co.id, Selasa (9/9/2025).
Ronald menambahkan, kapasitas refinery bauksit saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penambang.
Ditambah lagi, tonase yang diberikan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lebih besar dari kebutuhan pasar.
“Daripada tidak ada yang membeli, penambang akhirnya terpaksa menjual dengan harga rendah,” tutupnya.
Selanjutnya: Wika Gedung (WEGE) Targetkan Divestasi Aset Rp 100 Miliar pada Tahun 2026
Menarik Dibaca: Bank Digital Ini Siapkan Layanan Pintar untuk Bantu Atur Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News