Reporter: Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri otomotif Indonesia yang telah berkembang sejak era 1970-an kini menghadapi tantangan berat. Meski sektor ini selama puluhan tahun berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, belakangan performanya cenderung stagnan bahkan menurun, terutama karena melemahnya daya beli masyarakat.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, menjelaskan bahwa dalam kondisi normal kontribusi industri otomotif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar, meski angka spesifik dirilis oleh otoritas resmi.
“Ekspor kita juga relatif kuat, bahkan menembus hampir 500.000 unit pada tahun lalu, dan industri ini menyerap sekitar 1,5 juta tenaga kerja di seluruh ekosistemnya,” ungkap Kukuh kepada Kontan beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Daya Beli Masih Tertekan, Diskon Besar GIIAS Tak Cukup Dongkrak Penjualan Mobil
Namun, data produksi dan penjualan menunjukkan gejala stagnasi. Kapasitas produksi nasional sebenarnya mencapai 2,3 juta unit per tahun, tetapi penjualan domestik masih berkisar di angka satu juta unit. Tahun lalu, penjualan bahkan hanya 865 ribu unit, turun dari 1,05 juta unit di tahun sebelumnya.
"Industri sebenarnya tetap tumbuh, tapi daya beli masyarakat yang melemah membuat pasar tertekan,” ujar Kukuh.
Kondisi ini diperparah oleh tingginya pajak kendaraan di Indonesia. Sebagai perbandingan, pajak tahunan Toyota Avanza di dalam negeri bisa mencapai Rp 4 juta–Rp 5 juta, sementara di Malaysia hanya sekitar Rp 500.000, dan di Thailand bahkan lebih rendah lagi, sekitar Rp150.000.
“Dengan beban pajak setinggi itu, masyarakat mencari alternatif, termasuk membeli mobil bekas yang pasarnya mencapai 2,6 juta unit per tahun. Masalahnya, penjualan mobil bekas tidak berkontribusi pada PDB,” tambahnya.
Selain itu, industri komponen otomotif ikut terimbas. Beberapa pabrikan komponen telah melakukan pengurangan karyawan, bahkan hingga ribuan orang, karena penurunan volume produksi.
"Kalau situasi ini dibiarkan, bisa berbahaya bagi ribuan industri pendukung otomotif nasional,” kata Kukuh.
Baca Juga: Pasar Otomotif Lesu, Penjualan Mobil RI Bisa Anjlok di Bawah 800.000 Unit
Sementara itu, penetrasi kendaraan listrik yang kian digencarkan pemerintah memang meningkat hingga 9,7% dari total pasar. Namun menurut Gaikindo, adopsi tersebut justru banyak menyedot pasar mobil konvensional di segmen menengah ke bawah, yang justru paling dibutuhkan masyarakat untuk mobilitas primer.
“Insentif kendaraan listrik umumnya dinikmati konsumen menengah atas, sementara mobil konvensional yang harganya lebih terjangkau justru terbebani pajak tinggi,” ujar Kukuh.
Gaikindo menilai pemerintah perlu menyiapkan strategi dua arah: jangka pendek berupa insentif untuk menjaga industri tetap bertahan, dan jangka panjang berupa kebijakan yang memberikan kepastian investasi.
“Kebijakan pajak harus ditata ulang, jangan sampai terjadi double taxation. Selain itu, seluruh pemangku kepentingan dari pusat hingga daerah harus duduk bersama agar industri ini bisa terus berkontribusi pada perekonomian nasional,” tegas Kukuh.
Dengan populasi Indonesia yang mencapai 280 juta jiwa dan rasio kepemilikan kendaraan baru 99 unit per 1.000 penduduk, potensi pertumbuhan otomotif masih terbuka lebar.
Namun, tanpa daya beli yang kuat, struktur pajak yang adil, serta strategi transisi menuju kendaraan rendah emisi yang realistis, industri otomotif nasional bisa semakin tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Selanjutnya: Minim Data Ekonomi, Valuta Asia Diperkirakan Masuk Fase Konsolidasi, Senin (18/8)
Menarik Dibaca: Daftar Promo HUT RI ke-80 hingga 18 Agustus: Fore, JCO, KFC, A&W sampai Pizza Hut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News