Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks Manufaktur PMI Indonesia dari lembaga rating S&P Global naik pada bulan Juli 2025 menjadi 49,1 dari posisi 46,9 pada bulan sebelumnya. Namun, ternyata itu tak mencerminkan kondisi industri tekstil domestik yang dirasakan pelaku usaha.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi menyebut, kondisi pasar tekstil saat ini belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan dari kondisi sebelumnya.
“Kita harus lihat data S&P Global Manufacturing Index Indonesia secara jangka panjang ke belakang. Angka saat ini masih jauh dibandingkan dengan data tiga sampai empat tahun lalu yang rata-rata di atas 51,” kata Farhan kepada Kontan, Selasa (5/8/2025).
Pada bulan Juli pun, Farhan mengaku tidak ada peningkatan penjualan baik di sisi domestik maupun ekspor.
Baca Juga: Pelaku Industri Manufaktur Ungkap Tantangan Ekspor & Pasar Domestik di Semester II
Dari sisi domestik, Farhan bilang semua pabrik polymer polyester malah sudah berhenti beroperasi karena kalah saing dengan produk jadi asing yang murah. Pun, kain yang kini digunakan masyarakat mayoritas merupakan campuran polyester dari asing, khususnya China.
Dengan fakta itu, ia bilang saat ini pasar sudah ketergantungan dengan China. Itu kian diperparah dengan keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) menghentikan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping untuk benang filamen.
Sementara dari sisi ekspor, memang masih ada harapan dari kerja sama IEU-CEPA dan penurunan tarif tambahan AS ke level 19%. Namun, dampak dari peluang tersebut dapat maksimal dirasakan hanya jika instrumen pendukung industri domestik didukung maksimal.
“Akan sia-sia jika bahan baku tekstil berasal dari China bisa masuk ke Indonesia, produsen dalam negeri tidak bisa menikmati hasil perjanjian dagang yang ada,” tegas Farhan.
Secara keseluruhan, Farhan menilai industri tekstil sulit bersaing dengan produk dumping dari China yang harganya jauh lebih murah. “Para customer dan masyarakat lebih senang membeli produk murah. Saat ini, banyak anggota kami yang terpaksa menjual produknya hanya untuk menghidupi pekerjanya saja dihari esok,” tutur Farhan.
Saat ini Farhan bilang struktur industri tekstil domestik sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir. Dus, penanggulangan banjirnya China yang murah menjadi penentu kelanjutan industri tekstil domestik.
Baca Juga: Stimulus Pemerintah Dinilai Belum Cukup Dorong Daya Saing Industri Manufaktur
Selanjutnya: Cara Memblokir Game di HP, Upaya Mengontrol Anak Saat Menggunakan Ponsel Pintar
Menarik Dibaca: Hal yang Harus Disiapkan Sebelum Mengunjungi Singapura Untuk Pertama Kalinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News