Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Yudho Winarto
Tergetnya, Danantara akan menjadi SWF terbesar ke-4 di dunia. Pada awalnya, dana kelolaan alias asset under management (AUM) Danantara senilai US$ 10,8 miliar dari aset INA. Setelah tujuh BUMN terkonsoldasi diharapkan nilai AUM mencapai US$ 600 miliar.
Adapun tahap selanjutnya secara bertahap entitas kekayaan negara lainnya akan dimasukkan ke dalam fortopolio Danantara, sehingga total dana kelolaan mencapai US$ 982 miliar.
Baca Juga: Erick Thohir Siapkan Kantor untuk Super Holding BUMN
Dalam menjalankan fungsinya, berbekal dana konsolidasi BUMN Danantara dituntut mengoptimalkan return, mengendepakankan tata kelola yang baik dan profesional, serta ketat menjalankan manajemen risiko.
"Aspek tata kelola, manajemen risiko juga pengawasan ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Danantara saat mengambil keputusan investasi," jelas Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy kepada KONTAN, Selasa (5/11/2024).
Bukan tanpa alasan. Dari cacatan yang ada, pengelolaan dana BUMN dari mulai investasi di pasar modal hingga menggarap proyek pada akhrya menimbiulkan kerugian pada keuangan negara.
"Terjadi korupsi pada dana pensiun, BUMN boncos saat penugasan PSN, sehingga harus disuntik modal negara," sebut Budi.
Toto Pranoto, Associate Director BUMN Research Group, Lembaga Management FEB Universitas Indonesia menjelaskan, sejumlah syarat krusial yang harus dipenuhi agar Danantara dapat beroperasi secara optimal dan sejajar dengan SWF kelas dunia seperti Temasek kepunyaan Singapura.
Baca Juga: Kehadiran Super Holding BUMN Diharapkan Dapat Mempercepat Proses IPO
“Pertama, secara hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN perlu diamandemen untuk memastikan kelembagaan seperti Danantara bisa di absorb sebagai pengelola BUMN masa depan,” ujarnya.
Kedua, proses transisi dari fungsi Kementerian BUMN sebagai regulator dan fungsi executing agency di Danantara, harus dilakukan secara bertahap dan jelas. "(Lalu) perlu otonomi luas dan independen supaya kerja Danantara bisa optimal,” terangnya.
Toto membandingkan dua superholding BUMN milik Singapura yakni Temasek dan Government of Singapore Investment Corporation (GIC). Di mana, Temasek bisa mengelola portofolio investasi dan luar negeri.
Sementara GIC, lanjut Toto, hanya berfokus pada portofolio investasi di luar negeri saja. “Tujuan kedua SWF ini sama, yaitu meningkatkan total shareholder return bagi pemilik yaitu terutama pemerintah,” jelasnya.
Toto menambahkan, kehadiran Danantara sebagai SWF di Indonesia diharapkan mampu menggali potensi investasi lebih besar ke depan.
Baca Juga: Pemerintah Merancang Aturan Sapu Jagat untuk Super Holding BUMN
“(Selain itu) menarik foreign direct investment (FDI) juga bisa dilakukan dengan matching pada dana kelolaan yang dikerjakan oleh SWF Indonesia tersebut,” pungkasnya.
Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan menilai, jika ada badan sendiri yang mengelola aset negara yang dipisahkan seperti Danantara, tentu saja baik. "Pengelolaannya bisa lebih profesional dan berorientasi bisnis, seperti yang terjadi pada Temasek dan Khazanah," ujarnya
Bahkan Danantara akan lebih fokus. Begitu pun kalau ada konflik korporasi, pemerintah sebagai regulator tidak terlibat secara langsung, melainkan ditangani Danantara.
Menurutnya, kehadiran Danantara memiliki nilai positif, sepanjang berjalan sesuai dengan relnya, yakni pengelola investasi dari aset negara yang dipisahkan, terutama di dalamnya adalah BUMN.
“(Pembentukan superholding BUMN) Tentu tidak serta-merta akan meningkatkan kinerja BUMN,” sebutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News