kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produksi dan penjualan nikel Indonesia terancam pandemi corona


Jumat, 20 Maret 2020 / 18:05 WIB
Produksi dan penjualan nikel Indonesia terancam pandemi corona
ILUSTRASI. Produksi dan penjualan nikel Indonesia terancam pandemi corona. ANTARA FOTO/Jojon/foc.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efek gulir dari pandemi Corona telah mengancam kinerja produksi dan penjualan nikel Indonesia. Tak hanya bijih atau ore, Corona juga mengganjal produksi dan penjualan produk olahan nikel yang dihasilkan smelter di dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, kondisi saat ini sangat berdampak terhadap para penambang nikel. Produksi ore pun menurun lantaran banyak pelaku usaha yang menahan aktivitas penambangan. Bahkan, kata Meidy, tak sedikit yang sudah memilih untuk menghentikan produksi.

Baca Juga: Wabah corona tak menghambat ekspansi Aneka Tambang (ANTM)

"Minggu lalu saya dari Sulawesi, banyak yang mengeluh Corona. Tidak berani turun ke lokasi (pertambangan). Beberapa perusahaan juga meliburkan sebagian karyawan," kata Meidy saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (20/3).

Di samping itu, penurunan produksi juga terjadi lantaran permintaan dari smelter domestik juga ikut merosot. Sebab, saat ini para pelaku usaha tak punya pilihan lain untuk memasarkan ore nikel yang sudah ditambang, mengingat pemerintah sudah mempercepat larangan ekspor per 1 Januari 2020 lalu.

Saat ini, produksi smelter domestik juga menurun dengan mempertimbangkan permintaan pasar serta faktor teknis seperti ketersediaan tenaga kerja. "Jadi (Corona) sangat berdampak. Produksi smelter juga kan ikut turun," ujar Meidy.

Selain itu, sambungnya, sejumlah penambang sebenarnya juga sudah menahan produksi ore nikel sebelum merebaknya wabah Corona. Hal tersebut terjadi lantaran setelah ekspor ore ditutup, tata niaga dan harga nikel domestik masih belum diatur. Pasalnya, harga nikel domestik saat ini belum sesuai dengan keekonomian penambang.

Baca Juga: Proyek Smelter Milik Mind Id Belum Terganggu Wabah Virus Korona

Oleh sebab itu, kata Meidy, para pelaku usaha nikel juga tengah menanti terbitnya aturan pemerintah yang mengatur tata niaga dan harga nikel domestik. Dalam catatan Kontan.co.id, pemerintah tengah dalam proses merampungkan regulasi di akhir bulan ini, supaya tata niaga nikel domestik sudah bisa diberlakukan pada bulan depan.

"Para penambang saat ini banyak dalam posisi diam tidak produksi, menunggu janji pemerintah untuk tata niaga nikel domestik," tutur Meidy.

Sayangnya, terkait dengan perkiraan penurunan produksi serta proyeksi volume ore nikel yang bisa diproduksi pada tahun ini, Meidy belum bisa menyampaikannya. Ia bilang, pihaknya harus terlebih dulu mengumpulkan informasi, baik dari Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah disetujui maupun potensi perubahan di tengah kondisi seperti ini.

"Secara persentase dan kapasitas produksi kami belum bisa update detailnya, harus mendapatkan data-datanya dulu," sebut Meidy.

Tak hanya ore, produksi dan penjualan produk olahan nikel pun terkendala. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengatakan, produksi Feronikel (FeNi) maupun Nikel Pig Iron (NPI) yang diolah di smelter dalam negeri telah mengalami penurunan.

Baca Juga: Konstruksi proyek smelter Alumina (SGAR) Antam-Inalum ditargetkan Mei tahun ini

Meski tak menyebut dengan detail, tapi Prihadi mengatakan secara teknis, ada beberapa smelter yang tidak bisa memaksimalkan kapasitas produksinya. Sebab, terkendala perlengkapan yang masih diimpor serta rotasi tenaga kerja yang masih sulit dilakukan.

Selain itu, penjualan FeNi/NPI pun tertekan harga dan permintaan yang merosot. Apalagi, ekspor FeNi/NPI Indonesia masih dominan dipasarkan ke China. Sayangnya, Prihadi tidak menyebutkan detail volume penjualan maupun proyeksi FeNi/NPI di sepanjang tahun ini.

"Permintaan agak menurun sedangkan harga sudah tertekan di pasar international. Mengenai itu (volume produksi dan penjualan) saya harus buka data dulu," kata Prihadi.

Dihubungi terpisah, Praktisi tambang dan smelter Arif S. Tiammar mengatakan, dampak pandemi Corona akan sangat terasa bagi produksi dan bisnis nikel. Sebab, permintaan dari pemakai nikel terbesar di dunia, yakni China, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Rusia juga merosot.

Baca Juga: Harga tembaga ambruk ke bawah US$ 5.000 per metrik ton, level terburuk dalam 40 bulan

Menurut Arif, kondisi itu juga terjadi sebagai akibat dari smelter penghasil stainless steel yang belum beroperasi normal, bahkan di beberapa tempat sempat berhenti beroperasi. Sementara itu, smelter penghasil stainless di Indonesia, yakni di kawasan Morowali sementara waktu juga terkendala pemasaran.

"Kondisi saat ini sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar domestik baik dari segi produksi bijih nikel maupun operasional smelter," ungkap Arif.

Arif mengatakan, pandemi Corona juga telah melemahkan harga nikel di pasar internasional. Ia menggambarkan, jika dibandingkan sebelum merebaknya wabah Corona, rata-rata harga nikel pada bulan November 2019 misalnya, masih berada di kisaran US$ 16.500 per ton. Namun, saat ini sudah merosot ke level US$ 12.000 per ton.

Di tengah kondisi ini, katanya, penurunan kapasitas produksi menjadi konsekuensi yang sulit untuk dihindarkan. "Dengan demikian, produksi bijih nikel dan turunannya akan lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu," sebut Arif.

Baca Juga: Dampak Korona ke Logistik & Transportasi

Dalam catatan Kontan.co.id yang merujuk pada data dari Kementerian ESDM, pada tahun ini produksi olahan nikel (FeNI/NPI) ditargetkan mencapai 2,02 juta ton. Sementara untuk nikel matter sebesar 78.000 ton.

Hingga 6 Maret 2020, realisasi produksi FeNi tercatat sebesar 178.436 ton sedangkan NPI sebesar 69.912 ton. Sementara nikel matte sebesar 12,86 ton. Adapun, produksi bijih nikel hingga bulan Februari tercatat sebanyak 3,89 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×