Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Baca Juga: Harga tembaga ambruk ke bawah US$ 5.000 per metrik ton, level terburuk dalam 40 bulan
Menurut Arif, kondisi itu juga terjadi sebagai akibat dari smelter penghasil stainless steel yang belum beroperasi normal, bahkan di beberapa tempat sempat berhenti beroperasi. Sementara itu, smelter penghasil stainless di Indonesia, yakni di kawasan Morowali sementara waktu juga terkendala pemasaran.
"Kondisi saat ini sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar domestik baik dari segi produksi bijih nikel maupun operasional smelter," ungkap Arif.
Arif mengatakan, pandemi Corona juga telah melemahkan harga nikel di pasar internasional. Ia menggambarkan, jika dibandingkan sebelum merebaknya wabah Corona, rata-rata harga nikel pada bulan November 2019 misalnya, masih berada di kisaran US$ 16.500 per ton. Namun, saat ini sudah merosot ke level US$ 12.000 per ton.
Di tengah kondisi ini, katanya, penurunan kapasitas produksi menjadi konsekuensi yang sulit untuk dihindarkan. "Dengan demikian, produksi bijih nikel dan turunannya akan lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu," sebut Arif.
Baca Juga: Dampak Korona ke Logistik & Transportasi
Dalam catatan Kontan.co.id yang merujuk pada data dari Kementerian ESDM, pada tahun ini produksi olahan nikel (FeNI/NPI) ditargetkan mencapai 2,02 juta ton. Sementara untuk nikel matter sebesar 78.000 ton.
Hingga 6 Maret 2020, realisasi produksi FeNi tercatat sebesar 178.436 ton sedangkan NPI sebesar 69.912 ton. Sementara nikel matte sebesar 12,86 ton. Adapun, produksi bijih nikel hingga bulan Februari tercatat sebanyak 3,89 juta ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News