Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Menjelang penerapan program hilirisasi mineral pada 12 Januari 2014 mendatang, rata-rata produksi mineral logam meningkat tajam hingga 75%. Pertumbuhan produksi tersebut disebabkan permintaan dari China yang cenderung meningkat untuk mengamankan pasokan.
Misalnya saja, produksi bijih besi. Di sepanjang tahun 2013 ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan jumlah produksinya akan mencapai sekitar 18,4 juta ton, atau meningkat 75,2% dibandingkan dengan realisasi produksi tahun lalu sebesar 10,5 juta ton.
Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, sepanjang Januari hingga Juli ini produksi bijih besi sudah mencapai 10,73 juta ton. "Peningkatan produksi mineral juga disebabkan banyak pengusaha yang meningkatkan kapasitas produksi setelah pemerintah memberikan relaksasi ekspor," kata dia kepada KONTAN, Senin (30/9).
Ladjiman Damanik, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengatakan, sejumlah industri manufaktur di China khawatir pasokan bahan baku berupa bijih besi berkurang ketika Indonesia mulai menerapkan program hilirisasi mineral. "Karena itu, mereka menyetok bahan baku mulai dari tahun ini, agar kegiatan operasional mereka tidak terganggu," kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga patokan ekspor (HPE) bijih besi per September 2013 ini mencapai US$ 97,93 per ton. Nilai tersebut meningkat 30,12% dibandingkan HPE bijih besi pada Januari sebelumnya sebesar US$ 75,19% per ton.
Menurut Ladjiman, umumnya, peningkatan permintaan suatu komoditas mineral juga akan berpengaruh dengan mineral lainnya. Misalnya, untuk industri besi baja yang membutuhkan bahan baku bijih besi plus bijih mangan serta bahan mineral lainnya.
Selain permintaan dari China yang masih tinggi, Ladjiman mengakui, para pengusaha mineral memanfaatkan momentum masih dibolehkannya ekspor untuk menambah investasi. "Kami kalangan pengusaha tentunya memanfaatkan momentum kebijakan pemerintah yang tidak mematok kuota ekspor bijih mineral untuk menambah modal membangun pabrik pengolahan," kata dia.
Bidik cadangan baru
Sementara itu, Tri Hartono, Sekretaris Perusahaan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) mengatakan, hingga saat ini, perusahaannya belum memproduksi bijih besi sendiri. Perusahaan pelat merah itu mencari sumber cadangan bijih besi untuk jaminan pasokan kebutuhan unit pengolahan dan pemurnian (smelter) milik usaha pantungannya dengan Krakatau Steel.
Tri menyampaikan, sekarang ini, perusahaannya sedang membidik sumber cadangan pertambangan baru di Sumatra dan Kalimantan yang sudah siap berproduksi. "Hal ini untuk kebutuhan sendiri terutama untuk pabrik di Kalimantan Selatan," kata Tri.
Seperti diketahui, Antam dan KS memiliki anak usaha bernama PT Meratus Jaya Iron & Steel dan kini smelter Meratus sudah mulai memproduksi sponge iron. Adapun total kapasitas produksi Meratus Jaya akan mencapai 315.000 ton per tahun.
Total investasi yang dikeluarkan untuk proyek ini mencapai Rp 1,17 triliun. Di mana sebanyak 66% saham Meratus Jaya dipegang oleh Krakatau Steel sementara 34% sisanya menjadi milik Antam.
Selain smelter tersebut menghasilkan sponge iron, Meratus Jaya juga berhasil memanfaatkan bahan bakar sisa gas dari hasil pengolahan pabrik menjadi tenaga listrik. Tidak tanggung-tanggung, dari bahan bakar panas tersebut unit power plant Meratus Jaya bisa menghasilkan tenaga setrum dengan kapasitas 2X14 megawatt (MW).
Dari pembangkit tersebut, sekitar 18 MW hingga 20 MW akan disuplai ke PLN dan akan masuk dalam sistem jaringan transmisi Barito, Kalsel, dan Kalteng.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News