Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengevaluasi progres pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Selain dalam periode rutin enam bulanan, Kementerian ESDM rencananya akan melakukan evaluasi pada akhir tahun 2019 ini.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, sejak diwajibkan pada tiga tahun lalu, pembangunan smelter seharusnya sudah mencapai hasil yang cukup signifikan dalam rencana proyek yang ditunjukkan dalam Kurva S.
"Ini kan sudah masuk tahun ketiga Kurva S harusnya sudah naik, jadi nanti akan kita lihat pada tahun 2019 ini," ungkap Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (10/6).
Menurut Bambang, sejak kewajiban membangun smelter dipertegas pada tahun 2017, progres pembangunan smelter seharusnya sudah bisa mencapai rentang 25% hingga 30% hingga akhir tahun 2019 ini . "Paling tidak 25%-30%," imbuhnya.
Jika tidak memenuhi target tersebut, Bambang menyatakan bahwa pihaknya tidak segan untuk memberikan sanksi. Mulai dari teguran hingga pencabutan sementara rekomendasi ekspor. "Kalau tidak mencapai progres (sesuai target) rekomendasi ekspornya bisa dicabut," tegas Bambang.
Sayang, Bambang masih enggan untuk membeberkan data terkini mengenai progres pembangunan smelter masing-masing perusahaan. "Nanti tunggu evaluasi dari verifikator independen," katanya.
Seperti diketahui, berdasarkan data per Februari 2019, Kementerian ESDM memberi sanksi terhadap enam perusahaan mineral yang progres pembangunan smelternya tidak memenuhi target. Lima diantaranya dijatuhi sanksi penghentian izin ekspor sementara, dan satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor, yakni perusahaan bauksit PT Gunung Bintan Abadi.
Adapun, kelima perusahaan yang diberi sanksi pencabutan ekspor sementara adalah PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit).
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, perusahaan yang dikenai sanksi tersebut dapat kembali mendapatkan rekomendasi ekspor, asalkan kembali mengajukan permohonan yang disertai laporan pembangunan smelter yang telah diverifikasi oleh verifikator independen dengan progres memenuhi target.
Yang jelas, Bambang menyatakan bahwa Kementerian ESDM akan secara tegas melakukan evaluasi periodik enam bulanan dan tidak segan untuk memberi sanksi serupa jika proges tak sesuai target.
Bambang juga menegaskan, pihaknya akan menutup ekspor bijih mentah atau ore pada tahun 2022 nanti. Sehingga, bagi perusahaan yang smelternya belum rampung hingga tahun 2022, maka tidak akan bisa mengekspor ore. Namun, dengan kewajiban menyelesaikan smelter yang tetap masih berlaku.
"Tapi dia izin bangun (smelter) jalan terus. Tapi nggak bisa ekspor, nggak ada insentif, nggak ada ekspor," jelasnya.
Adapun, menurut Yunus Saefulhak, pada tahun 2022 nanti ditargetkan akan ada 60 smelter berlabel Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) dari Kementerian ESDM. Hingga tahun 2018, sambung Yunus, jumlah smelter eksisting yang berstatus IUP OPK berjumlah 20.
Pada tahun ini, ditargetkan akan ada 3 smelter baru yang akan beroperasi. "Jadi smelter yang izinnya keluar dari kita (Kementerian ESDM) sudah ada 20 hingga 2018. Hingga akhir tahun ini kita targetkan sudah jadi 23," kata Yunus kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News