Reporter: Ratih Waseso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masuki masa new normal membuat diterapkannya sejumlah protokol kesehatan di setiap kegiatan sosial dan ekonomi. Protokol kesehatan diwajibkan agar masyarakat tetap mencegah penyebaran virus korona (Covid-19) namun tetap dapat melakukan kegiatan ekonomi.
Namun, adanya protokol kesehatan juga membuat biaya operasional usaha menjadi bertambah. Hal tersebut diakui oleh Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran.
Baca Juga: Gerakan Pakai Masker ajak pakai masker pedagang pasar secara benar, ini caranya
Namun Maulana menyebut tak hanya sektor perhotelan dan restoran saja yang mengalami kenaikan biaya operasional untuk protokol kesehatan. Semua sektor usaha disebut Maulana saat ini pasti terdapat tambahan biaya tersebut.
"Kalau hotel dan restoran karena mereka setiap saat interaksi terus sama konsumen maka biaya akan lebih besar dari yang lain. Contoh hotel setiap saat interaksi dengan konsumen, jadi masalah desinfektan, hand sanitizer akan jadi cost tambahan lumayan," jelas Maulana saat diskusi virtual yang diadakan Institute of Developing Economies and Entrepreneurship (IDEE) pada Rabu (24/6).
Meski diperkirakan biaya operasional tambahan tidak sampai 10%, namun Maulana menyebut biaya tersebut tetap jadi tambahan biaya yang nantinya akan membuat kesulitan pengusaha hotel. Oleh karenanya Maulana menyebut modal usaha jadi poin yang penting bagi pelaku usaha terutama sektor perhotelan dan restoran.
"Modal kerja itu diharapkan, apalagi UMKM nggak ada cash reserved yang lama, paling lama dua tiga bulan, ditambah nggak ada relaksasi listrik, ditambah new normal, itukah jadi penting adanya modal kerja," imbuh Maulana.
Baca Juga: Selain corona, penyakit mematikan ini juga mengintai Kota Bekasi
Sektor hotel disebut Maulana menerapkan strategi dengan penawaran paket long stay lantaran adanya PSBB lalu. Di era new normal saat ini strategi yang digunakan ialah dengan menjual voucher menginap yang dapat digunakan hingga tahun 2021.
"Tapi ini nggak serta merta gerakan market, konsumen buat beli. Masalahnya sekarang hotel itu bergantung pada pergerakan orang, selama pergerakan itu biaya mahal karena ada surat SIKM, PCR, rapid test itu jadi biaya mahal dan kedua kepercayaan masyarakat buat berpergian, sekarang masyarakat pergi dengan kendaraan pribadi itupun ke wisata terdekat dan okupansi kendaraan juga berkurang," ungkap Maulana.
Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Institute of Developing & Entrepreneurship (IDEE), Sutrisno Iwantono menambahkan adanya aturan rapid test kepada pegawai hotel juga dirasa cukup berat. Terlebih bagi hotel-hotel kecil non bintang.
"Pegawainya diwajibkan rapid test, bahkan setiap 14 hari sekali biaya Rp 300.00 - Rp 500.000 sekali rapid. Itu udah nggak mungkin ditanggung hotel kecil non bintang, kalau sekarang ada lima kamar terisi aja udah hebat," jelas Iwantono.
Baca Juga: Inilah makanan yang boleh dan dilarang bagi penderita asam urat
Dia menambahkan apabila hotel buka saat pandemi semata-mata agar mesin-mesin yang ada di hotel tetap jalan. Hal tersebut lantaran apabila mesin tersebut tidak dioperasikan maka akan rusak, yang mana biaya perbaikannya akan jadi lebih mahal.
"Sebab kalau ditutup itu rusak peralatan listriknya, kerusakannya berat sekali biayanya. Kalaupun dia buka dengan lima atau enam orang masuk itu tetap rugi, tapi lebih rugi lagi kalau peralatan listriknya rusak," imbuhnya.
Dia menyebut pengusaha hotel juga masih harus menanggung biaya seperti listrik, pajak daerah, pajak reklame iklan meski hotel tutup. Oleh karenanya efisiensi biaya sangat sulit dilakukan para pengusaha, maka salah satu jalan ialah merumahkan 50% pegawainya.
Baca Juga: Ada MPV murah di bursa lelang mobil bekas, harga Avanza mulai Rp 60 juta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News