kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proyek gas JTB molor, ini dampaknya menurut pengamat


Senin, 13 Desember 2021 / 15:53 WIB
Proyek gas JTB molor, ini dampaknya menurut pengamat
ILUSTRASI. Lapangan unitisasi gas Jambaran Tiung Biru (JTB).


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA-Jadwal On Stream Proyek Lapangan Unitisasi Gas Jambaran Tiung Biru (JTB) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur hampir dipastikan mundur. Hingga penghujung 2021, pengerjaan proyek tersebut baru mencapai 94,71%. Padahal, lapangan JTB diproyeksi bisa memproduksi gas dalam jumlah yang sangat besar, yakni mencapai 192 MMSCF. 

Hadi Ismoyo, Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI) menilai, mundurnya proyek ini akan berdampak buruk terhadap hulu hingga hilir migas. 

Dari sisi hulu, nilai keekonomian proyek semakin menurun. Sementara di sisi hilir akan menghilangkan kesempatan industri di Jawa Tengah mendapat gas lebih awal.

“Merembet pula ke sektor transporter gas, pipa Gresik-Semarang yang belum bisa membawa gas JTB ke konsumen di Jateng,” kata Hadi, Senin (13/12).

Baca Juga: Proyek Jambaran Tiung Biru (JTB) telah mencapai 94,71%

Hadi menjelaskan, meskipun cadangan gas produktif tetap ada, namun dalam skala waktu, IRR proyek JTB akan terus tergerus, sehingga akan terjasi potensial economic loss akibat keterlambatan jadwal on stream.

"Karena tidak ada intensi apapun dari SKK Migas dan KKKS untuk memperlambat project. Semua stakeholder ingin agar project selesai tepat waktu," jelasnya

Mundurnya jadwal on stream lapangan JTB diduga adanya faktor kesulitan yang dialami PT Rekayasa Industri (Rekind) sebagai kontraktor utama. Padahal, Rekind sudah menerima pembayaran lunas dari PT Pertamina EP Cepu (PEPC) sebagai pemilik  wilayah kerja JTB. 

Baca Juga: Proyek Jambaran Tiung Biru mencapai 94%, SKK Migas kawal proyek rampung tepat waktu

Proyek strategis

Sebelumnya, kesulitan keuangan yang dialami Rekind pertama kali diungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro, M Suparno. Menurutnya, saat ini banyak sub-kontraktor lokal (mitra Rekind) yang belum dilakukan pembayaran oleh kontraktor.  

“Saya dengar proyek gas JTB sudah mencapai 90%, tetapi masih banyak kontraktor lokal Bojonegoro, khususnya sekitar proyek yang belum dibayar pekerjaannya,” kata Suparno beberapa waktu lalu. Keterlambatan pembayaran bervariasi antara 3-6 bulan. 

Padahal, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelumnya menyatakan gas dari JTB sangat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan energi di Jawa Timur maupun Jawa Tengah.

“Saya sangat mengharapkan proyek ini mampu berkontribusi pada kemandirian energi nasional. Apalagi, saat ini situasi dunia tengah mengalami krisis energi,” kata Wakil Menteri BUMN I, Pahala Mansury.

Proyek JTB merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) sektor energi yang ditetapkan Presiden Joko Widodo. Proyek JTB yang diharapkan menjadi salah satu penghasil gas terbesar di Indonesia memiliki kapasitas produksi hingga 192 million standard cubic feet per day (MMscfd). 

Nantinya, sebanyak 100 MMscfd gas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik milik PT PLN (Persero). Dengan belanja modal proyek JTB sebesar US$1,5 miliar, suplai dari JTB  akan memasok ketersediaan gas di Pulau Jawa, sehingga mampu meningkatkan kemajuan ekonomi masyarakat.

Baca Juga: Rekind berhasil lakukan uji coba buyback gas untuk proyek Jambaran Tiung Biru

Pengamat Energi Fahmi Radhi menyatakan jika kesulitan finansial yang dialami Rekind tidak bisa diatasi dan membuat proyek mandek maka akan memengaruhi jadwal produksi dan perekonomian, baik di daerah maupun di pusat. “Lapangan ini penghasil gas yang cukup besar,” kata Fahmi 

Fahmi berharap, sumur gas tersebut segera beroperasi karena letaknya yang strategis dan menjadi solusi kebutuhan industri di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena lokasi nya yang strategis dan tidak terlalu jauh, maka proyek JTB tidak memerlukan pipa dalam jumlah yang panjang. 

Nah, harapannya dengan kondisi semacam itu, maka lapangan JTB bisa menjual gas dengan harga lebih murah.

"Selain itu, diharapkan bisa berkontribusi untuk pusat maupun daerah, membuka lapangan pekerjaan. Saya kira ini perlu didukung oleh semua pihak.” tandas Fahmi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×