kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Proyek Smelter Nikel INCO di Bahodopi Sempat Hadapi Negosiasi Alot dengan Partner


Selasa, 22 Maret 2022 / 15:52 WIB
Proyek Smelter Nikel INCO di Bahodopi Sempat Hadapi Negosiasi Alot dengan Partner
ILUSTRASI. Aktivitas pengolahan nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. CEO PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Febriany Eddy mengungkapkan, proses negosiasi proyek smelter nikel di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah sempat melewati masa perudingan yang alot (selama 9 bulan) dengan pihak partner dari Tiongkok. Pasalnya, pihak Vale Indonesia bersikukuh untuk mengaliri sumber daya energi ke smelter menggunakan gas alam cair (LNG). 

"Proses negosiasi alot hingga 9 bulan, panjang sekali, karena dari sisi partner tidak paham. Secara aturan memang tidak ada yang memaksa Vale Indonesia untuk beralih dari batubara ke LNG. Padahal penggunaan LNG bisa menurunkan net present value project sampai US$ 230 juta," jelasnya dalam acara forum berkelanjutan 2022 yang disaksikan secara virtual pada Selasa (22/3). 

Febriany menegaskan bahwa penggunaan LNG ini dilakukan semata-mata karena pilihan bukan paksaan. Toh di satu sisi, Vale Indonesia juga tetap mengantongi keuntungan. Febriany bilang, pihaknya tidak mengukur keberhasilan hanya dari keuntungan materi semata, tetapi juga menimbang faktor manusia dan planet yang harus dijaga. 

Baca Juga: KONTAN Juara Pertama Lomba Penulisan Jurnalistik Vale Indonesia (INCO)

Febriany menjelaskan, saat ini Vale Indonesia telah mengoperasikan 3 PLTA dengan kapasitas 365 MW di mana lebih dari 10 MW diserahkan ke masyarakat melalui PLN dan sisanya digunakan untuk tanur listrik peleburan nikel.

Namun energi dari 3 PLTA tersebut baru menyumbang 36% energi yang dibutuhkan Vale dalam menjalankan aktivitas bisnisnya sehingga sumber energi yang diserap Vale saat ini masih dominan menggunakan batubara dan minyak bumi. 

Lebih jelasnya Febriany menjelaskan, bahwa 90% kebutuhan energi digunakan untuk aktivitas pabrik. Sedangkan sisanya, 10% digunakan untuk aktivitas di tambang. Atas dasar ini pula, manjemen Vale Indonesia yakin dengan pendiriannya bahwa pabrik smelter yang baru dibangun harus berbasis energi baru terbarukan. Di sisi lain, pihaknya juga akan mengonversikan sumber energi pabrik menggunakan LNG. 

Febriany punya alasan tertentu mengapa pihaknya memilih LNG. Dia menjelaskan, rata-rata emisi yang keluar dari pembakaran LNG adalah setengah dari emisi yang dikeluarkan dari pembakaran batubara. Adapun bagi manajemen Vale, untuk saat ini LNG cocok untuk menurunkan emisi di industri nikel yang memerlukan kebutuhan energi berskala besar dan harus tersedia setiap waktu. 

"Kendati ada opsi produk energi lainnya yang lebih bersih, misalnya saja  green hydrogen, saat ini kami belum ke sana karena hidrogen butuh waktu dalam pengembangannya. Sedangkan kami sadar bumi tidak bisa menunggu, maka kami akan menggunakan dan mengkonversi sumber energi di pabrik menggunakan LNG. Sembari paralel mencari pengganti (sumber energi) lainnya," ujarnya. 

Febriany yakin, pasti ke depannya seiring dengan perkembangan teknologi akan muncul solusi energi bersih yang baru. 

Baca Juga: Didukung Fundamental Nikel yang Solid, Begini Rekomendasi Saham Vale Indonesia (INCO)

FID Smelter Bahodopi Ngaret 

Sebagai informasi, manajemen Vale Indonesia telah memastikan bahwa keputusan investasi final atawa final investment decision (FID)  smelter nikel di Bahodopi, akan bergeser ke April 2022 dari yang sebelumnya direncanakan di awal tahun ini. 

Febriany menjelaskan, salah satu pertimbangan besar FID digeser karena desain pabrik yang dekat sekali dengan masyarakat. 

"Kami melihat layout pabriknya terlalu dekat dengan masyarakat, akhirnya kami bersedia memindahkan lokasi pabrik. Tentu dalam pembangunan pabrik kami harus menjaga emisinya, debu, dan keributan yang dihasilkan. Maka dari itu, studi kelayakan harus direvisi untuk memindahkan posisi pabrik," ujarnya. 

Adapun perihal pembangunan PLTG, Febriany mengungkapkan, bahwa pihaknya memutuskan untuk membangun pembangkit dan smelter sendiri. Sedangkan untuk supply LNG yang besar ini, Vale Indonesia masih dalam proses mengkaji hasil konsultasi dengan SKK Migas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×