Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
Febriany punya alasan tertentu mengapa pihaknya memilih LNG. Dia menjelaskan, rata-rata emisi yang keluar dari pembakaran LNG adalah setengah dari emisi yang dikeluarkan dari pembakaran batubara. Adapun bagi manajemen Vale, untuk saat ini LNG cocok untuk menurunkan emisi di industri nikel yang memerlukan kebutuhan energi berskala besar dan harus tersedia setiap waktu.
"Kendati ada opsi produk energi lainnya yang lebih bersih, misalnya saja green hydrogen, saat ini kami belum ke sana karena hidrogen butuh waktu dalam pengembangannya. Sedangkan kami sadar bumi tidak bisa menunggu, maka kami akan menggunakan dan mengkonversi sumber energi di pabrik menggunakan LNG. Sembari paralel mencari pengganti (sumber energi) lainnya," ujarnya.
Febriany yakin, pasti ke depannya seiring dengan perkembangan teknologi akan muncul solusi energi bersih yang baru.
Baca Juga: Didukung Fundamental Nikel yang Solid, Begini Rekomendasi Saham Vale Indonesia (INCO)
FID Smelter Bahodopi Ngaret
Sebagai informasi, manajemen Vale Indonesia telah memastikan bahwa keputusan investasi final atawa final investment decision (FID) smelter nikel di Bahodopi, akan bergeser ke April 2022 dari yang sebelumnya direncanakan di awal tahun ini.
Febriany menjelaskan, salah satu pertimbangan besar FID digeser karena desain pabrik yang dekat sekali dengan masyarakat.
"Kami melihat layout pabriknya terlalu dekat dengan masyarakat, akhirnya kami bersedia memindahkan lokasi pabrik. Tentu dalam pembangunan pabrik kami harus menjaga emisinya, debu, dan keributan yang dihasilkan. Maka dari itu, studi kelayakan harus direvisi untuk memindahkan posisi pabrik," ujarnya.
Adapun perihal pembangunan PLTG, Febriany mengungkapkan, bahwa pihaknya memutuskan untuk membangun pembangkit dan smelter sendiri. Sedangkan untuk supply LNG yang besar ini, Vale Indonesia masih dalam proses mengkaji hasil konsultasi dengan SKK Migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News