Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) meminta peningkatan nilai tambah atau hilirisasi di sektor pertambangan tetap digarap serius, khususnya untuk komoditas bauksit.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno mengungkapkan, bauksit merupakan mineral yang tidak banyak cadangannya dibandingkan dengan mineral lainnya seperti nikel. Meski saat ini industri penyerap hasil olahan bauksit menjadi produk jadi belum banyak tersedia di dalam negeri, Djoko menilai prospek hilirisasi nikel sangat baik lantaran industri serapan sudah mulai tumbuh.
Melihat prospek tersebut, sambung Djoko, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) perlu menjadi prioritas dan diakselerasi. Apalagi, industri aluminium sebagai olahan dari bauksit merupakan industri dasar yang perlu dikembangkan.
"Prospek hilirisasi (bauksit) sangat baik untuk menunjang industri. Dengan melihat kebutuhan aluminium untuk industri bahan bangunan dan industri kimia maka pembangunan smelter perlu dipercepat. Kalau lambat, kita akan semakin sukar membangun industri dasar," terangnya kepada Kontan.co.id, Sabtu (25/7).
Baca Juga: Target penambahan 6 smelter bauksit diprediksi meleset ke 2023
Meski begitu, Djoko mengamini bahwa hal itu tidak akan mudah. Apalagi, pandemi covid-19 membuat proyek pembangunan smelter menjadi penghambat, bahkan bisa mundur satu tahun.
Lebih jauh, tambah Djoko, di luar faktor covid-19 pun pembangunan smelter secara umum, termasuk bauksit masih terkendala masalah dana. "Perlambatan pasti ada. Bukan hanya akibat covid-19 tapi juga sukar mendapatkan modal kerja," sebutnya.
Baca Juga: Awas, Kemenko Maritim Ikut Mengawasi Penerapan Harga Nikel untuk Smelter
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB31) Erry Sofyan mengatakan, serapan pengolahan bijih bauksit di dalam negeri memang masih minim. Saat ini industri berbahan baku mineral bauksit masih berupa alumina refinery yang mengolah bauksit menjadi alumina powder dengan kadar 99%.
Sedangkan industri lanjutan setelah alumina refinery adalah industri aluminium dengan produk berupa aluminium ingot dan bilet yang diperlukan oleh industri di dalam negeri. "Untuk mineral bauksit, industrinya harus sampai ke hilir, berupa aluminium ingot dan bilet agar bisa langsung dikonsumsi industri berbasis aluminium di dalam negeri yang selama ini bahan bakunya masih di import," terang Erry.
Menurut Erry, pembangunan smelter bauksit memang semakin sulit saat pandemi covid-19. Selain faktor teknis terkait pengerjaan proyek, faktor pasar dan ekonomi juga mempengaruhi. Termasuk soal masalah pendanaan. "Dengan pandemi ini pasti mengalami kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan dan pemasarannya," sebut Erry.
Asal tahu saja, pemerintah menargetkan akan ada sembilan smelter bauksit yang ada di Indonesia. Jika seluruh smelter itu telah beroperasi, diharapkan bisa mengolah bauksit di dalam negeri yang kapasitas produksinya bisa mencapai 40 juta ton per tahun.
Mengutip catatan Kontan.co.id, proyek hilirisasi bauksit diperkirakan meleset setahun dari jadwal yang sudah ditargetkan. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Yunus Saefulhak mengungkapkan, awalnya pemerintah menargetkan adanya enam smelter bauksit baru pada tahun 2022. Namun, tambahan enam smelter tersebut ditaksir bakal mundur lantaran pembangunannya yang terhambat pandemi Covid-19.
Baca Juga: Gasifikasi Batubara Mulai Mengalir ke Sektor Rumah Tangga
"Diperkirakan pembangunan yang sebelumnya ditargetkan selesai pada tahun 2022, kemungkinan akan mundur hingga akhir tahun 2023. Namun pemerintah tetap mendorong tidak mundur terlalu jauh," kata Yunus, Jumat (24/7).
Ketika nanti ada tambahan enam smelter, maka Indonesia bakal memiliki sembilan smelter bauksit. Delapan smelter di antaranya berstatus Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) di bawah Kementerian ESDM.
Saat ini ada tiga smelter bauksit yang beroperasi. Dua di antaranya merupakan IUP OPK dan satu smelter berada di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian dengan status Izin Usaha Industri (IUI). Ketiga smelter yang telah beroperasi itu adalah: Pertama, PT Indonesia Chemical Alumina (IUP OPK) dengan kapasitas output yang mampu menghasilkan produk berupa 300.000 chemical grade alumina (CGA).
Kedua, PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery (IUP OPK) dengan kapasitas produk 1 juta smelter grade alumina (SGA). Ketiga, PT Inalum (IUI) dengan kapasitas 250.000 aluminium ingot per tahun.
Baca Juga: Penerimaan negara harus meningkat dari perpanjangan PKP2B dan IUPK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News