Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. PT Timah (Persero) Tbk tengah mengenjot penyelesaian pabrik pengolahan mineral tanah jarang atawa rare earth. Perusahaan plat merah itu telah memulai tahapan konstruksi dan menargetkan pabrik berkapasitas 50 kilogram per hari bisa beroperasi kuartal-I 2015.
Tepatnya, sejak Agustus lalu, PT Timah sudah menjalani kegiatan engineering, procurement and construction (EPC). Perusahaan ini menunjuk kontraktor dalam negeri untuk membangun pabrik di Kawasan Industri Tanjung Ular, Bangka Belitung. Kalau tak meleset, pembangunan rampung dalam enam hingga delapan bulan.
Meski proses pembangunan masih berlangsung, perusahaan berkode TINS di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini sudah menentukan strategi marketing. "Selama proses konstruksi berlangsung, kami akan berupaya mencari pelanggan sekaligus menentukan jenis produk yang diminati pasar," kata Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan PT Timah kepada KONTAN, (1/10) tanpa menyebutkan siapa pelanggan yang dibidik.
Sasaran PT Timah adalah pasar Asia. Dalam memasarkan produk, perusahaan ini juga bakal melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Sayang, Agung belum bersedia menjelaskan target pendapatan bisnis anyarnya itu pada tahun depan. Yang jelas, PT Timah optimistis produk olahan mineral tanah jarang bakal memiliki harga jual tinggi. Dus, pendapatan perusahaan itu akan terdongrak.
Maklum jika PT Timah menaruh harapan besar. Sebab, perusahaan itu merogoh kocek hingga Rp 20 miliar untuk membangun pabrik.
Pabrik tersebut akan memanfaatkan tin slag atawa produk samping dari hasil proses pemurnian logam timah. Nah, beberapa unsur logam tanah jarang yang dapat dihasilkan dari pemrosesan tin slag itu tersebut yaitu lantanum (La), praseodimium (Pr), neodimium (Nd), serta cerium (Ce). Logam-logam itu umumnya dimanfaatkan untuk pembuatan perangkat elektronik, alat komunikasi dan peralatan nuklir.
Di sisi lain, PT Timah tak melupakan bisnis utamanya yakni timah. Asal tahu saja, semula perusahaan itu mengutarakan rencana penghentian kegiatan ekspor timah batangan jika harga produk itu di bawah US$ 23.000 per ton.
Sebagai informasi permintaan pasar timah dari China melemah. Bahkan, Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI) memperkuat keterpurukan harga timah batangan dengan mencatat harga timah batangan pada 1 Oktober 2014 sebesar US$ 21.580 per ton. Padahal pada periode yang sama tahun lalu harganya US$ 23.400 per ton.
Realitanya, perusahaan itu tak jadi merealisasikan rencana awal, artinya PT Timah tetap mengekspor timah batangan. "Kami tetap menjual meski harga rendah tapi kami lakukan secara selektif agar harga jual timah tidak terus merosot," ujar Agung.
Perusahaan ini juga tak mengubah target produksi tahun ini sebesar 26.000 ton. Sampai pertengahan 2014, PT Timah telah memproduksi 10.808 ton timah batangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News