Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena aksi konsolidasi yang meliputi merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terus terjadi sekalipun berada di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19.
Yang terhangat, Grup Djarum melalui PT Global Digital Niaga selaku pengelola Blibli.com hendak mengakuisisi saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC). Rencana akuisisi tersebut dipandang sebagai strategi Blibli.com untuk memperluas ekosistem bisnisnya.
Selain itu, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yang juga terafiliasi dengan Grup Djarum bersiap mengakuisisi saham mayoritas PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) sebanyak 90%.
Akuisisi tersebut dilakukan TOWR lewat anak usahanya PT Profesional Telekomunikasi Indonesia atau Protelindo.
Corporate Communication Manager PT Djarum Indonesia Budi Darmawan menolak berkomentar terkait gencarnya Grup Djarum melalui anak-anak usahanya dalam melakukan aksi konsolidasi di berbagai sektor industri.
Baca Juga: Ini kata analis di tengah kabar Blibli.com akan mengakuisisi Erajaya (ERAA)
“Untuk hal tersebut silakan untuk ditanyakan ke manajemen perusahaan yang bersangkutan,” kata dia, Senin (20/9).
Aksi konsolidasi berupa merger turut dilakukan oleh PT Indosat Tbk (ISAT) dan Hutchison 3 Indonesia. Nilai transaksi merger tersebut diperkirakan mencapai US$ 6 miliar.
Masih hangat juga, Kementerian BUMN akan segera melakukan merger pada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III, dan IV pada 1 Oktober mendatang. Nilai aset Pelindo I sampai IV diperkirakan mencapai Rp 112 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menyampaikan, pada dasarnya ada tiga tujuan utama yang membuat perusahaan-perusahaan melakukan konsolidasi bisnis seperti merger dan akuisisi. Di antaranya adalah efisiensi bisnis, perluasan pangsa pasar, dan memperbesar aset.
Efisiensi bisnis biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu sektor bisnis atau memiliki pola bisnis yang serupa. Maka dari itu mereka melakukan aksi merger atau akuisisi yang diharapkan bisa mengurangi beban pengeluaran hingga lebih fokus dalam mencapai tujuan bisnis.
Merger Pelindo I sampai IV dapat menjadi salah satu contoh aksi merger yang bertujuan untuk efisiensi bisnis.
Baca Juga: Setelah Akuisisi RANC, Grup Djarum Kini Membidik Erajaya Swasembada (ERAA)
Keberadaan pandemi Covid-19 juga bisa menjadi pemicu percepatan aksi konsolidasi demi mencapai efisiensi bisnis yang lebih baik.
“Pandemi ini membuat perusahaan mempertimbangkan beban pengeluarannya. Ketimbang jalan sendiri-sendiri tapi tidak kuat, lebih baik konsolidasi dengan perusahaan lainnya,” ungkap Huda, Senin (20/9).
Perluasan pangsa pasar juga bisa menjadi tujuan lain dilakukannya konsolidasi oleh sejumlah perusahaan. Ambil contoh pada rencana akuisisi Blibli.com terhadap Supra Boga Utama yang memiliki toko Ranch Market yang notabene bergerak di sektor ritel offline atau konvensional.
Jika rencana akuisisi ini terwujud, Blibli.com berkesempatan mengkolaborasikan bisnis ritel online yang selama ini menjadi andalannya dengan bisnis ritel offline yang dijalani oleh Ranch Market.
Adapun tujuan konsolidasi lainnya adalah meningkatkan jumlah aset pada perusahaan yang terlibat. Contohnya terlihat pada merger bank-bank syariah Himbara di awal tahun 2021 yang melahirkan Bank Syariah Indonesia (BSI). Usai merger, aset BSI kian gemuk yakni mencapai Rp 247,3 triliun hingga Juni 2021 atau tumbuh 15,16% (yoy).
“Dengan adanya peningkatan aset, pihak perusahaan bisa lebih leluasa mencari pendanaan atau modal. Sebab, aset ini bisa menjadi jaminan pembiayaan,” tutur Huda.
Sementara itu, Director Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengaku, tren konsolidasi seperti merger dan akuisisi cukup ramai di Indonesia semenjak adanya pandemi Covid-19.
Aksi konsolidasi tersebut tak hanya melibatkan perusahaan yang berada dalam satu sektor bisnis yang sama, melainkan juga lintas sektor bisnis.
Baca Juga: Sarana Meditama (SAME) akan akusisi Kedoya Adyaraya (RSGK), ini alasannya
Namun demikian, ia menyebut bahwa aksi konsolidasi tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan pergerakan harga saham perusahaan yang bersangkutan, khususnya dalam jangka pendek.
Pada dasarnya, investor di pasar modal akan lebih menyoroti dampak-dampak aksi konsolidasi seperti perubahan strategi bisnis perusahaan yang lebih prospektif, sampai perbaikan efisiensi dan kinerja.
“Ada banyak faktor yang dipertimbangkan investor. Jadi tidak semua aksi konsolidasi yang ramai bisa menghasilkan ekspektasi harga saham yang pantas bagi investor,” terang Bhima.
Huda menambahkan, tren aksi konsolidasi perusahaan-perusahaan di Indonesia masih bisa terus terjadi baik dalam jangka pendek maupun menengah. Perusahaan-perusahaan terkait bidang teknologi digital ataupun telekomunikasi diperkirakan bakal lebih terlibat dalam aksi konsolidasi.
Terlebih lagi bagi perusahaan digital, mereka memang diharuskan membangun ekosistem bisnis yang komplet. Tak heran apabila aksi konsolidasi seperti merger dan akuisisi bakal ditempuh oleh perusahaan digital.
Baca Juga: Mencermati Aksi Merger dan Akuisisi Emiten di Bursa
“Ketika ekosistem diperkuat, perusahaan digital ini akan punya layanan yang bisa menjangkau apa saja. Konsumen pun lebih menyukai berbagai layanan yang tersedia dalam satu aplikasi,” ungkap Huda.
Memang, tidak menutup kemungkinan bahwa aksi konsolidasi tersebut bisa menimbulkan penguasaan pasar yang dominan oleh satu atau dua perusahaan. Namun, itu semua sangat bergantung pada karakteristik industri masing-masing.
Pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun harus lebih peduli terhadap dampak-dampak tren aksi konsolidasi yang tengah marak.
“Kalau memang terjadi dominasi pasar, pasti perusahaan tersebut harusnya akan disemprot oleh KPPU, karena ini merugikan pelanggan maupun kompetitor,” pungkas Huda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News