Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang menyusun revisi aturan terkait devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA), yang diperkirakan akan berlaku mulai Januari 2025.
Belakangan ramai desas-desus bahwa revisi ini mencakup kewajiban eksportir untuk menempatkan lebih banyak DHE SDA di sistem keuangan domestik, dari sebelumnya minimal 30% menjadi 50%, dengan durasi penempatan yang lebih panjang, yakni dari tiga bulan menjadi enam bulan.
Baca Juga: Pemerintah Rancang Aturan Baru DHE SDA, Industri Sawit Siap Hadapi Dampak
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, aturan ini bertujuan untuk memperkuat sektor perbankan domestik dan cadangan devisa negara, sekaligus menstabilkan perekonomian.
Namun, sejumlah pihak di industri pertambangan menilai kebijakan ini bisa memberikan tekanan tambahan terhadap likuiditas perusahaan tambang, terutama di tengah harga komoditas yang saat ini sedang melemah dan meningkatnya biaya operasional.
Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, pengusaha tambang pada dasarnya akan mematuhi aturan yang berlaku, tetapi pemerintah diharapkan mempertimbangkan dampaknya terhadap kelangsungan operasional perusahaan tambang.
“Likuiditas perusahaan tambang berpotensi tertekan dengan penempatan dana dalam jumlah besar dan waktu yang lebih lama,” kata Gita kepada Kontan, Minggu (22/12).
Baca Juga: Pemerintah Rumuskan Aturan Baru DHE SDA, Targetnya Rampung Januari 2025
Selain itu, Gita menyebut beban ini juga bisa mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan investasi baru pada barang modal, yang sebenarnya sangat penting untuk menopang kinerja perusahaan dan kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional.
Menurut Gita, kebijakan tersebut juga berisiko memperberat beban perusahaan tambang skala menengah ke bawah, yang mungkin tidak memiliki fleksibilitas keuangan sebesar perusahaan besar.
“Pemerintah perlu mengkaji lebih dalam terkait potensi kesulitan likuiditas yang akan dihadapi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah,” tambahnya.
Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Pertambangan PII) Rizal Kasli mengungkapkan, revisi aturan DHE SDA ini membawa konsekuensi besar bagi industri tambang.
Baca Juga: Pemerintah Buka Peluang Perpanjang Penempatan DHE Minerba dan Perkebunan
Meski tujuan memperkuat cadangan devisa negara dan mendorong stabilitas ekonomi domestik merupakan langkah positif, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi daya saing internasional industri pertambangan Indonesia.
“Kebijakan ini akan menambah beban perusahaan, terutama pada cash flow. Ini bisa menurunkan daya saing harga di pasar global dan menghambat kemampuan perusahaan untuk berkembang di tengah dinamika pasar internasional,” kata Rizal kepada Kontan, Minggu (22/12).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar menilai meski kebijakan ini memiliki tujuan yang baik untuk memperkuat cadangan devisa negara, kondisi ekonomi perusahaan tambang saat ini yang kurang mendukung harus menjadi bahan pertimbangan.
“Harga batu bara yang tidak sebaik sebelumnya dan meningkatnya biaya operasional akan membuat beban ini semakin berat,” ujar Bisman kepada Kontan, Minggu (22/12).
Lebih lanjut, dampaknya bisa berupa terhambatnya pengembangan usaha dan menurunnya daya saing perusahaan di pasar internasional. Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif agar tujuan kebijakan tercapai tanpa memberatkan pelaku usaha.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Menguat, Cadangan Devisa Naik Efek Kemenangan Trump
Selain kekhawatiran terkait likuiditas dan daya saing internasional, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi minat investor asing di sektor tambang.
Menurut Bisman, Investor mungkin melihat kewajiban penyimpanan DHE yang lebih besar dan lebih lama sebagai pembatasan yang memengaruhi return on investment mereka.
“Ketika fleksibilitas keuangan perusahaan tambang berkurang, maka minat investor untuk masuk ke sektor ini juga bisa menurun. Akibatnya, investasi baru yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri dapat terhambat,” tambah Bisman.
Rencana revisi aturan ini dinilai memerlukan kajian mendalam agar dampak positif terhadap perekonomian nasional dapat tercapai tanpa menimbulkan gangguan signifikan pada industri pertambangan, yang merupakan salah satu pilar penting ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pemerintah diharapkan mampu menemukan keseimbangan antara menjaga stabilitas ekonomi dan memberikan ruang bagi perusahaan tambang untuk terus berkembang dan berkontribusi.
Selanjutnya: BSI Dorong Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular
Menarik Dibaca: 4 Manfaat Minum Air Kelapa Hijau Rutin untuk Kesehatan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News