Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia buka suara terkait rencana mengubah subsidi energi ke Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Belum ada keputusan sampai seperti itu. Tetapi kita lagi mencari formatnya yang baik dan benar agar BBM subsidi itu tepat sasaran. Sasarannya itu adalah BBM tepat sasaran," kata Bahlil di Kementerian ESDM, Senin (21/10).
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan skema subsidi langsung sudah sejak lama direncanakan oleh pemerintah. Sebab, rencana ini masuk dalam Nota Keuangan setiap tahunnya, namun belum ada mekanisme yang pas untuk mengimplementasikannya.
"Jadi nota keuangan kita bertahun-tahun di kebijakan subsidi itu selalu ada itu. Sudah beberapa kali menuju ke sana. Jadi itu terus dilanjutkan sampai benar-benar mekanismenya pas," kata Agus di Kementerian ESDM, Jumat (4/10).
Agus menuturkan BLT merupakan konsep memberikan subsidi untuk meningkatkan daya beli masyarakat dengan tujuan agar subsidi BBM tepat sasaran. Usai subsidi BBM diubah menjadi subsidi langsung, harga semua BBM akan dijual sesuai dengan harga keekonomoiannya tanpa subsidi.
Baca Juga: Menilik Rencana Pemerintahan Prabowo Ubah Subsidi Energi ke BLT
Catatan Kontan, Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan mengubah subsidi energi menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini diungkapkan Dewan Penasit Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Burhanuddin Abdullah yang menyatakan pemerintahan ke depan telah memiliki rencana untuk menyalurkan subsidi berbasis BLT, yakni langsung kepada orang yang membutuhkan.
Kebijakan tersebut dinilai akan menghemat anggaran subsidi sebesar Rp 150 triliun hingga Rp 200 triliun lantaran selama ini subsidi energi dinilai tidak tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh manfaat kelas bawah.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sekaligus Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno mengatakan Kementerian ESDM dan Komisi VII sedang memformulasikan skema di mana subsidi pemerintah yang saat ini diberikan ke produk/barangnya akan diubah langsung diberikan ke penerima.
"Misalkan begini, setiap bulan ada pengguna LPG 3 kilogram (kg) bersubsid itu menggunakan tiga tabung subsidinya kurang lebih Rp 99 ribu atau sekitar Rp 100 ribu. Jadi tidak akan diberikan kepada tabungnya tapi ke penerimanya,” kata Eddy saat dihubungi, Minggu (29/9).
Eddy melanjutkan, ke depan akan disempurnakan data penerima atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan kemudian setiap bulan para penerima akan mendapatkan Rp 100 ribu yang akan ditransfer langsung ke rekeningnya.
Untuk BBM, kata Eddy, subsidi akan diberikan kepada mereka yang punya QR code atau bisa juga diberlakukan sistem BLT.
“Tetapi menurut kami, BBM bersubsidi ini agak fluktuatif ketimbang LPG 3 kg yang sudah bisa diperkirakan, maka usulan kami di Komisi VII dan Kementerian ESDM untuk memberikan subsidi dalam bentuk BLT kepada pengguna LPG 3kg terlebih dahulu,” pungkasnya.
Baca Juga: Soal Rencana Ganti Subsidi Energi ke BLT, Belum Terbukti Akan Lebih Tepat Sasaran
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengungkapkan, Pertamina sebagai BUMN mengikuti akan kebijakan pemerintah.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, subsidi energi diubah ke skema BLT secara konsep bisa lebih bagus dan tepat sasaran. Tetapi, harus diperkuat dengan data yang akurat sehingga harus ada review/pengkayaan DTKS milik Kementerian Sosial (Kemensos).
“Tapi model BLT ini ada risiko uang BLT-nya "disalahgunakan", misalnya untuk membeli rokok. Kalau ini yang terjadi, maka cukup fatal akibatnya karena bisa menggerus daya beli,” tuturnyan kepada Kontan, Minggu (29/9).
Menurut Tulus, penerapan subsidi energi berupa BLT, syaratnya mininal dua yaitu, pengkayaan data penerima BLT harus benar-benar akurat dan harus ada kepastian uangnya tidak dipakai untuk beli rokok, mengingat, prevalensi merokok di rumah tangga miskin di Indonesia masih sangat tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News