Reporter: Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kalangan pengusaha menyambut dingin keluarnya beleid Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 61/Permentan/PK.230/12/2016 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras. Permentan ini merupakan revisi Permentan Nomor 26 Tahun 2016 yang sudah terbit sebelumnya. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya pemerintah turut campur dalam proses perdagangan yang tidak kondusif bagi iklim usaha.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi) Anton J. Supit menyanyangkan terbitnya beleid tersebut. Ia mengatakan pemerintah terlalu banyak campur tangan dalam proses perdagangan sehingga menimbulkan ketidakefisiensi. Ia mengatakan, seharusnya, setiap kebijakan pemerintah seharusnya dipikirkan juga bersama dengan konsekuensinya.
Ia mengambil contoh soal kewjiban 50% DOC artinya sekitar 1,5 miliar DOC dengan harga rata-rata Rp 4.800 per ekor maka ada perputaran uang sebesar Rp 7,2 triliun setahun. "Itu belum termasuk pakan ternak dan siapa yang harus menyediakan modalnya," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (1/1).
Karena itu, ia mengatakan pihaknya hanya bisa pasrah terkait kemauan pemerintah pada kebijakan perunggasan. Namun ia mengingatkan harus ada yang bertangunggung jawab bila perunggasan bisa hancur dan ini sangat menjadi perhatian kami kalangan pengusaha.
Senior Vice President PT Japfa Comfeed Indonesia, Budiarto Soebijanto mengatakan, sebagai salah satu perusahaan unggas yang beroperasi di Indonesia, pihaknya akan menaati peraturan yang telah diterbitkan pemerintah tersebut. "Pada prinsipnya kami patuh pada peraturan pemerintah,"imbuhnya.
Japfa, lanjut Budiarto telah rutin membuat laporan produksi unggas mereka ke Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kemtan. Oleh karena itu, tidak masalah bila itu sudah masuk dalam revisi permentan yang baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News