Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN: SKK Migas sekarang lebih pro aktif?
DWI SEOTJIPTO: Saya mencoba transformasi SKK Migas dari monitoring mindset ke controling mindset, kalau monitoring kan hanya kalau proyek terlambat, lalu puas dengan laporan saja. Jadi menurut saya, jika ada keterlambatan tentu itu kesalahan SKK Migas juga. kalau satu bulan delay pasti kami panggil, dimana salahnya? Proyek Anda ini masih cost recovery loh. Ini kalau proyek terlambat, otomatis naik project cost akan naik signifikan. Upaya mempercepat tidak membiarkan delay harus dilakukan untuk menekan cost recovery. Orang SKK Migas juga harus kuat di project manajemen, harus mengawal. Ada unit planning, monitoring, and controling. ini yang kita coba mengubah kawan-kawan SKK Migas.
KONTAN: Itukan dari internal, bagaimana euforia mobil listrik yang membuat industri hulu migas tak menarik lagi?
DWI SEOTJIPTO: Jadi yang pertama itu, sudah sangat betul sekarang kita euforia kendaraan listrik, cuma kita harus ingat untuk menghasilkan listrik itu diperlukan apa? pasti bahan bakar. Memang benar bauran energi ditargetkan menjadi 23% tahun 2025. Dengan angka 23% itu, komposisi oil and gas masih menjadi mayoritas, dalam volume masih besar dan demand masih tumbuh.
KONTAN: Dengan kendaraan listrik impor minyak bisa berkurang?
DWI SOETJIPTO: Kalau dikaitkan dengan impor minyak Indonesia memang meningkat hanya untuk minyak, tetapi untuk gas kita surplus. Kalau di equivalent-kan kita malah masih surplus. Salah satu upaya kami adalah mengurangi penggunaan minyak dengan beralih ke ke gas, gas itu lebih murah dan bersih. Maka otomatis akan menurunkan impor minyak kita menjadi salah satu revitalisasi dari oil ke gas.
KONTAN: SKK Migas mendorong energi terbarukan? termasuk listrik?
DWI SEOTJIPTO: Semua mendorong tumbuhnya energi baru terbarukan (EBT), baik dari solar cell, PLTP, air, dan sebagainya, karena itu baik untuk manusia. Sedangkan oil and gas akan lebih bermanfaat jika dipakai untuk produk petrokimia, bukan lagi sebagai bahan bakar. Kalau bahan bakar kan itu C dan H nya dibakar menjadi energi dan sisa pembakarannya tidak bagus. Kalau diproses bahan petrokimia dia tidak dibakar bahkan digunakan.
Kalau kita bicara bahan petrokimia, 90% yang ada di sekitar kita itu pakai petrokimia. Jadi itu masa depan dari oil and gas. Oil and gas itu arahnya nanti untuk keperluan industri dan itu akan mengurangi impor petrokimia di Indonesia.
Kita ketahui, dan dengan kemampuan petrokimia naik maka industri turunannya atau industri hilir dari bahan baku petrokimia akan tumbuh. Bahkan, kita bisa kelebihan produksi petrokimia jika program transformasi berjalan. Meskipun memang kita sudah seharusnya melakukan eksplorasi semua energi untuk mencari energi baru terbarukan.
KONTAN: Bagaimana bapak menerjemahkan industri ini masih memiliki masa depan?
DWI SEOTJIPTO: Ada 5 transformasi untuk merevitaslisasi oil and gas ini. Pertama, menciptakan energi dan industri yang efisien, pindah dari cost recovery ke gross split atau cost recovery yang sangat ketat.
Kedua, transformasi dari barat ke timur untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Untuk eksplorasi wilayah timur membutuhkan investor besar, untuk itu pemerintah sudah melakukan upaya-upaya mendukung iklim investasi dan SKK Migas pro aktif bukan cuma ikut roadshow, kami menawarkan lapangan migas ke berbagai negara, australia, kita aktif marketing.
Ketiga, transformasi dari onshore ke offshore, dari selow water ke deepwater, momentum berjalannya Blok Masela itu bisa dilakukan dan dimanfaatkan. Keempat, kita pindah dari menggunakan minyak ke menggunakan gas.
Kelima, dari bahan bakar untuk kendaraan menjadi produk petrokimia. Tetapi memang kelima upaya ini harus didukung lintas kementerian. Kalau kami dorong ke gas, tentu kendaraan yang memakai gas bisa mendapat insentif, kalau sudah jalan maka bagaimana menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).