kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Riuh euforia kendaraan listrik, akankah industri hulu migas padam…


Sabtu, 24 Agustus 2019 / 13:49 WIB
Riuh euforia kendaraan listrik, akankah industri hulu migas padam…
ILUSTRASI. Kepala SKK Migas Dwi Seotjipto


Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tampaknya harus siap-siap membuat landskap industri hulu migas kedepan. Ini upaya menjawab euforia listrik sebagai subtitusi bahan bakar bagi kendaraan bermotor.

Padahal, kata Kepala SKK Migas Dwi Seotjipto, euforia listrik tidak perlu dipertentangkan dengan bahan bakar minyak (BBM). “Malah bagus adanya bauran energi, SKK Migas mendukung,” ungkap dia kepada Kontan.co.id dalam wawancara khusus di kantornya.

Malah, dengan peralihan kendaraan fosil menjadi kendaraan listrik maka neraca dagang Indonesia tidak lagi defisit lagi lantaran masih bertumpu pada impor minyak.

Sedangkan minyak nantinya akan beralih untuk digunakan sebagai bahan baku produk petrokimia. Lantas bagaimana sebenarnya landskap industri migas paska teknologi listrik masuk ke industri otomotif? Wartawan Kontan.co.id Azis Husaini dan Filemon Agung mewawancarai Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto di ruangannya, Kamis (14/8) malam. Berikut nukilan wawancara lengkapnya:

KONTAN: Soal industri hulu migas ke depan termasuk eksplorasi dan landskap hulu kita bagaimana?

DWI SOETJIPTO: Waktu saya masuk ke sini (SKK Migas) publik menilai bahwa industri hulu migas ini sudah habis. Tetapi, saya mencoba melihat dari sisi yang lain, apa benar sudah habis? dari beberapa referensi, ada hal yang cukup menarik bahwa kita memiliki 128 cekungan migas, yang di eksplorasi dan eksploitasi baru sebanyak 54 cekungan, dan ada 74 cekungan lagi yang belum digarap. Lalu apakah mungkin kita memasuki golden era oil and gas kembali? Dari pemikiran itu, kami coba dengan kawan-kawan (SKK Migas) berpikir.

KONTAN: Potensi 74 cekungan itu bagaimana, sudah ada yang mencoba mencari?

DWI SEOTJIPTO: Saya berpikir, kayak apa sih potensi Indonesia? Kita coba, yakin bahwa kita punya keyakinan bisa saja terjadi (golden era oil and gas). Saya selalu cerita bahwa 20 tahun lalu Amerika Serikat itu importir minyak, tetapi sekarang Amerika Serikat adalah eksportir minyak yang menentukan harga minyak bersama Rusia dan Arab Saudi.

Kenapa begitu, karena teknologi semakin berkembang. Mereka rupanya serius menggarap shale oil dan gas. Tetapi untuk mengeluarkan (shale oil and gas) dari dalam perut bumi itu tidak gampang, dan mereka menemukan teknologi yang akhirnya mereka mendapatkan. Mestinya kita berpikir demikian.

KONTAN: Caranya bagaimana, lifting saja terus turun?

DWI SEOTJIPTO: Ada empat strategi, pokok upaya mempertahankan produksi. Pertama, optimalisasi dari produksi, jadi bagaimana mengelola reservoir, eksekusi Work Plan and Budget, ini yang kita harus kontrol betul, kalau tidak jalan maka kita tegor. Misalnya Blok Mahakam dan Blok Rokan bahwa Pertamina menjanjikan ini, kita harus kejar tidak hanya pasif menerima laporan. Bahwa dalam pelaksanaannya tidak seperti dijanjikan Pertamina (soal produksi), maka kita terus kejar dan memberi teguran jika tidak jalan.

KONTAN: SKK Migas sekarang lebih pro aktif?

DWI SEOTJIPTO: Saya mencoba transformasi SKK Migas dari monitoring mindset ke controling mindset, kalau monitoring kan hanya kalau proyek terlambat, lalu puas dengan laporan saja. Jadi menurut saya, jika ada keterlambatan tentu itu kesalahan SKK Migas juga. kalau satu bulan delay pasti kami panggil, dimana salahnya? Proyek Anda ini masih cost recovery loh. Ini kalau proyek terlambat, otomatis naik project cost akan naik signifikan. Upaya mempercepat tidak membiarkan delay harus dilakukan untuk menekan cost recovery. Orang SKK Migas juga harus kuat di project manajemen, harus mengawal. Ada unit planning, monitoring, and controling. ini yang kita coba mengubah kawan-kawan SKK Migas.

KONTAN: Itukan dari internal, bagaimana euforia mobil listrik yang membuat industri hulu migas tak menarik lagi?

DWI SEOTJIPTO: Jadi yang pertama itu, sudah sangat betul sekarang kita euforia kendaraan listrik, cuma kita harus ingat untuk menghasilkan listrik itu diperlukan apa? pasti bahan bakar. Memang benar bauran energi ditargetkan menjadi 23% tahun 2025. Dengan angka 23% itu, komposisi oil and gas masih menjadi mayoritas, dalam volume masih besar dan demand masih tumbuh.

KONTAN: Dengan kendaraan listrik impor minyak bisa berkurang?

DWI SOETJIPTO: Kalau dikaitkan dengan impor minyak Indonesia memang meningkat hanya untuk minyak, tetapi untuk gas kita surplus. Kalau di equivalent-kan kita malah masih surplus. Salah satu upaya kami adalah mengurangi penggunaan minyak dengan beralih ke ke gas, gas itu lebih murah dan bersih. Maka otomatis akan menurunkan impor minyak kita menjadi salah satu revitalisasi dari oil ke gas.

KONTAN: SKK Migas mendorong energi terbarukan? termasuk listrik?

DWI SEOTJIPTO: Semua mendorong tumbuhnya energi baru terbarukan (EBT), baik dari solar cell, PLTP, air, dan sebagainya, karena itu baik untuk manusia. Sedangkan oil and gas akan lebih bermanfaat jika dipakai untuk produk petrokimia, bukan lagi sebagai bahan bakar. Kalau bahan bakar kan itu C dan H nya dibakar menjadi energi dan sisa pembakarannya tidak bagus. Kalau diproses bahan petrokimia dia tidak dibakar bahkan digunakan.

Kalau kita bicara bahan petrokimia, 90% yang ada di sekitar kita itu pakai petrokimia. Jadi itu masa depan dari oil and gas. Oil and gas itu arahnya nanti untuk keperluan industri dan itu akan mengurangi impor petrokimia di Indonesia.

Kita ketahui, dan dengan kemampuan petrokimia naik maka industri turunannya atau industri hilir dari bahan baku petrokimia akan tumbuh. Bahkan, kita bisa kelebihan produksi petrokimia jika program transformasi berjalan. Meskipun memang kita sudah seharusnya melakukan eksplorasi semua energi untuk mencari energi baru terbarukan.

KONTAN: Bagaimana bapak menerjemahkan industri ini masih memiliki masa depan?

DWI SEOTJIPTO: Ada 5 transformasi untuk merevitaslisasi oil and gas ini. Pertama, menciptakan energi dan industri yang efisien, pindah dari cost recovery ke gross split atau cost recovery yang sangat ketat.

Kedua, transformasi dari barat ke timur untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Untuk eksplorasi wilayah timur membutuhkan investor besar, untuk itu pemerintah sudah melakukan upaya-upaya mendukung iklim investasi dan SKK Migas pro aktif bukan cuma ikut roadshow, kami menawarkan lapangan migas ke berbagai negara, australia, kita aktif marketing.

Ketiga, transformasi dari onshore ke offshore, dari selow water ke deepwater, momentum berjalannya Blok Masela itu bisa dilakukan dan dimanfaatkan. Keempat, kita pindah dari menggunakan minyak ke menggunakan gas.

Kelima, dari bahan bakar untuk kendaraan menjadi produk petrokimia. Tetapi memang kelima upaya ini harus didukung lintas kementerian. Kalau kami dorong ke gas, tentu kendaraan yang memakai gas bisa mendapat insentif, kalau sudah jalan maka bagaimana menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).

KONTAN: Eksplorasi migas saat ini bagaimana?

DWI SEOTJIPTO: Tahun ini ada dana eksplorasi sekitar US$ 200 juta. Akan ada tambahan lagi sampai US$ 2,4 miliar untuk eksplorasi. Selain itu, kami akan melakukan speed up resources produksi. Sumur tua itu kadang-kadang Pertamina EP bilang sudah marginal, kalau sudah tidak diurus yang kecil, kita coba Kerja Sama Operasi (KSO)-kan, reaktivasi, lapangan idle harus dioptimalisasi.

Ada reseource di sana tetapi kecil, kita diskusi fleksibel split. Kita tidak kaku. Sekarang mindest kita harus diskusi lagi, supaya (lapangan) jadi ekonomis gimana? untuk menjadi ekonomis apa yang Anda butuhkan? kita jadi lebih open melayani. SKK Migas bukan penguasa, tetapi pelayan.

KONTAN: Ini seperti di Blok Masela, proyek bisa jalan setelah 20 tahun mangkrak, pas Anda jadi Kepala SKK Migas?

DWI SEOTJIPTO: Mungkin nasib baik. Proyek Masela itu project besar US$ 19,8 miliar dengan split 50% pemerintah dan 50% lagi Inpex dan Shell. Tapi nanti kalau project cost-nya berkurang menjadi US$ 18,5 miliar maka split pemerintah bertambah menjadi 59%. Kami ada justment mekanisme sehingga bisa berubah split-nya meski sudah diteken plan of development-nya.

KONTAN: Jadi investor melihat Indonesia sudah friendly sejak proyek Blok Masela jalan?

DWI SEOTJIPTO: Betul. Ini kan akhirnya mematahkan anggapan bahwa investasi di laut dalam mahal dan sulit, buktinya ada Blok Masela. Lalu, di Kawasaan Timur susah, lagi-lagi buktinya Blok Masela bisa jalan di Onshore LNG. Masela punya investasi besar sepanjang sejarah Indonesia. Jadi mereka tidak ragu lagi untuk ke Indonesia karena protyek Masela jalan.

KONTAN: Bapak masih roadshow ke investor? Apa yang mereka minta?

DWI SEOTJIPTO: Hampir yang saya temui (investor) meminta kondisi politik stabil, keamanan terjamin, regulasi tidak mudah berubah, kecepatan mengurus perizinan cepat. Semua ini kan arahan bapak presiden.

KONTAN: Perizinan yang cepat sudah benar terjadi?

DWI SEOTJIPTO: Kalau di Kementerian ESDM kan sudah mulai Online Single Submission (OSS). Sekarang standarnya dipersempit, yang program kerja itu ada izinnya misalnya mau ngebor itu di SKK Migas, kami memangkas juga. Kalau sampai ada laporan pending di SKK Migas sekian hari, itu peringatan yang ada di sana. Tugasnya melayani, masuk investasi lalu segera mungkin rilis.

KONTAN: Manajemen risikonya bagaimana?

DWI SEOTJIPTO: Kalau manajemen risiko tetap dilakukan tidak boleh berkurang, savety tidak boleh berkurang, on off, harus sesuai standar. kalau sudah on dipercepat sesuai standar dan kualitas. savety harus nomor 1.

KONTAN: Bagaimana soal savety Blok ONWJ di sumur YYA-1 yang bocor, katanya karena efisiensi lantaran ada gross split?

DWI SEOTJIPTO: Jadi sesungguhnya, mau metode mana yang dipakai PSC pasti yang nomor satu itu adalah savety. Laporan performance health, safety, and, environmental (HSE). Implementasi gross split dan cost recovery tidak boleh berkurang. kebutuhan akan savety harus diadakan. Jadi efisiensi apapun tidak boleh mengurangi savety, kalau dalam implementasinya dikendorkan karena oriantasi efisiensi, itu namanya human erorr. Sebab, jika awalnya kita sudah mendesain savety kemudian mengurangi kualitas savety risk managemen maka itu kesalahan besar. Kita mesti membuat kemungkinan-kemungkinan sampai plan yang terjelek jika melakukan pemboran itu harus dikalkulasikan.

Contohnya Deepwater Horizon, disana kan debat cost off project dan savety, saat itu kan savety dikalahkan sehingga akhirnya kejadian Deepwater Horizon meledak di lepas pantai. Oleh karena itu tidak boleh adanya efisiensi yang mengorbankan savety. SKK Migas kedepan, tentu harus kontrol yang ketat work planning, meskipun gross split. Kasus ONWJ memberikan pelajaran bagi semua, Pertamina, SKK Migas dan kontraktor lain. Kalau kebijakan gross split tidak boleh loh, aspek savety diabaikan.

Absolutnya savety. Oh ya soal anggapan gross split itu jelek, ada contoh lain yang bagus, misalmnya di project Merakes itu kan so far bagus, di Kalimantan Timur punya ENI, dia pakai gross split terjadi di sana tepat waktu untuk onstream. Jadi saya mau bilang ada contoh yang baik dari penerapan gross split. Kami evaluasi, jangan sampai mengorbakan savety.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×