Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Usulan agar pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak atau cukai untuk menggenjot penerimaan negara yang demikian besar mendapat tanggapan anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno.
Menurutnya, upaya memperluas tax-base merupakan langkah yang bagus. Pasalnya, sumber-sumber penerimaan negara lebih bervariasi, dan lebih sehat. Dengan target penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun, tentu pemerintah dituntut kreatif. Bukan menyasar pada sumber-sumber pajak yang sudah ada. "Tentu saja saya setuju," kata politisi PDI Perjuangan ini di Jakarta, akhir pekan lalu.
Anggota Komisi XI DPR lain, Mukhamad Misbakhun mengatakan, rencana tersebut sejalan dengan Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 1995 yang kemudian diamandemen menjadi UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, salah satu yang paling diharapkan adalah mempermudah langkah ekstensifikasi.
Sesuai pesan beleid tersebut, salah satu objek untuk menggenjot penerimaan negara adalah pengenaan cukai bagi minuman bersoda. Sebenarnya, “Rencana ekstensifikasi objek kena cukai tersebut sudah disampaikan Kementerian Keuangan sejak 2012 lalu. Namun kenapa belum kelihatan kemajuan yang nyata?,” ujarnya, Senin (17/5).
Menurut politisi Golkar ini, ada strategi yang harus ditempuh pemerintah agar rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi bisa terlaksana. Pertama, pendefinisian minuman ringan berkarbonasi harus jelas mengacu Pasal 2 UU Cukai, agar landasan pengenaan cukai benar secara material.
“Kriteria dalam UU Cukai yang tepat sebagai landasan pemungutan adalah konsumsi barang tersebut perlu dikendalikan serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan,” paparnya.
Misbakhun menambahkan, bahan adiktif yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi terdiri pemanis buatan, zat pewarna, dan zat pengawet. Komposisi bahan-bahan tersebut, banyak yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Akibat konsumsi berlebihan, katanya, dapat menyebabkan obesitas, diabetes mellitus, batu ginjal, osteoporosis, dan kerusakan gigi.
“Fakta ilmiah ini sebenarnya sangat kuat untuk mendasari pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi,” ujarnya.
Strategi berikut, lanjut Misbakhun, faktor kelaziman pengenaannya di negara lain. UU 39/2007 cukup visioner karena mengadopsi praktik dan teori cukai internasional. Karena itu, apa yang dipungut cukai di negara maju secara prinsip dapat dikenakan juga di Indonesia. Sebut saja negara-negara yang mengenakan cukai minuman bersoda, seperti Finlandia, Prancis, Jerman, India, Jepang, dan Amerika.
“Best practice negara lain, seharusnya menjadi referensi pemerintah untuk praktik pemungutan di Indonesia,” ucapnya.
Misbakhun menegaskan, ketika beban keuangan negara begitu besar, maka Pemerintahan Jokowi harus memanfaatkan momen krusial ini sebagai salah satu sumber tambahan penerimaan negara.
“Karena itu, pengenaan cukai minuman bersoda sejalan dengan strategi pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak atau cukai sebagai sumber penerimaan Negara,” tutur Sekretaris Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR ini.
Sebelumnya, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi Sofjan Wanandi mengatakan pemerintah harus gencar melakukan ekstensifikasi pajak atau memperluas cakupan penarikan pajak dengan target pendapatan yang demikian besar.
Pernyataan ini disampaikan terkait dengan target pajak sekitar Rp 1.439,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Ditegaskan Sofjan, untuk menggenjot pajak atau cukai tidak bisa dari jenis perusahaan tertentu saja, semisal industri hasil tembakau. Cukai bisa digenjot dari jenis usaha lain seperti soda atau minuman beralkohol.
"Tentu tidak hanya industri itu-itu saja, mesti dicari industri lain yang juga punya potensi besar di sektor cukai," tegas Sofjan. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News