Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga batubara yang belum juga menanjak membuat perusahaan jasa pertambangan, PT Samindo Resources Tbk (MYOH) fokus masuk bisnis pembangkit listrik. Harapannya, akan ada pundi-pundi pendapatan baru selain menjual jasa tambang.
Sekretaris Perusahaan Samindo Hananto Wibowo mengatakan, menurunnya harga batubara selama beberapa tahun terakhir mendorong Samindo melakukan diversifikasi usaha, yakni masuk bisnis kelistrikan yang memiliki potensi besar di masa datang.
"Total kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional pada akhir tahun 2014 mencapai 49 Giga Watt. Diproyeksikan akan ada 59,5 GW tambahan kapasitas pembangkit listrik hingga 2022," ujar dia, Selasa (19/5).
Bila ditotal, untuk menghasilkan 59,5 GW, investasi yang mesti dikucurkan sebesar US$ 125,2 miliar. Dari porsi tersebut, sekitar US$ 54,1 miliar merupakan porsi pembangkit swasta independent power producer (IPP).
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN hingga 2019 menunjukan pembangunan pembangkit akan didominasi oleh IPP. "Dengan potensi besar, kami melihat peluang bisnis IPP di masa datang," ujar dia.
Direktur Samindo Soemarno Witoro Soelarno menambahkan, dalam strategi perusahaan ini, nanti, jika akhirnya MYOH akan membangun PLTU dengan kapasitas dibawah 100 MW, maka perusahan akan membangun sendiri dengan dana sendiri. Sebaliknya jika harus membangun PLTU dengan kapasitas diatas 100 MW, maka perusahaan akan mencari partner.
Nantinya, peran Samindo Resources bila harus melakukan patnership dalam pembangunan itu akan menyesuaikan dengan pengalaman selama ini dibidang pertambangan batubara, yakni melakukan penambangan, pengangkutan, dan pengadaan bahan baku batubara.
Menurut Soemarno, semakin besar kapasitas pembangkit listrik yang akan dibangun, akan semakin efisien. Hanya saja, perusahaan masih perlu belajar untuk mengendalikan dan mengelola PLTU dengan kapasitas besar.
Opsi lain adalah melakukan akuisisi tambang yang di dalamnya sudah ada pembangkit listrik. Nantinya, proyek listrik dan tambang akan disinergikan. Namun, saat ini pihaknya masih mencari lokasi yang tepat. "Kalau misalnya di Sumatera, kami lihat sumber dulu. Ada lokasi, bahan baku belum jelas. Ada bahan baku, IPP belum jelas, tegasnya.
Hingga kuartal I-2015, MYOH sama sekali belum melakukan realisasi investasi pembelian alat berat. Padahal secara total, pada 2015 ini, MYOH mengalokasikan belanja modal US$ 7,5 juta.
Hananto melanjutkan, belanja modal pada tahun ini tidak sebesar belanja modal pada tahun-tahun sebelumnya. Sebab selama tiga tahun terakhir ini, perusahaannya telah banyak melakukan investasi dalam pembelian alat berat. "Kami fokus meningkatkan produktivitas seluruh alat berat yang ada," ujarnya.
Sampai akhir Maret 2015 MYOH mencatatkan pendapatan Rp 55,99 miliar, dengan pencapaian laba bersih sebesar Rp 6,8 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News