Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri energi dinilai paling siap melakukan transisi energi dibandingkan sektor kehutanan. Hal ini disampaikan oleh Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Marves, Tubagus Nugraha.
Dia melihat bahwa kesiapan sektor energi dalam melaksanakan transisi energi tercermin dari upaya dan inisiatif yang sudah dilakukan industri energi sampai dengan saat ini.
Tubagus mengatakan dari data yang sudah tercatat sebelumnya, sektor energi adalah sektor yang paling agresif dan paling siap melakukan transisi energi.
"Ini memang yang menjadi perhatian, dari beberapa data yang saya lihat, bahwa pengalaman proyek-proyek Coalbed methane (CBM) sudah ada hampir 147 proyek dengan nilai investasi sampai US$ 5,3 miliar dan menyumbang penurunan CO2 atau emisi karbon 34 juta ton, ini menurut data dari CBM Pipeline Kemudian dalam Joint Credit Mechanisme (JCM) terdapat 38 proyek," jelasnya dalam webinar bertajuk “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Batubara” pada Rabu (1/12).
Baca Juga: Energi terbarukan berbasis sawit dinilai akan jadi alternatif krisis energi global
Di sisi lain, Tubagus juga melihat bahwa pembangunan infrastruktur renewable energy merupakan pertimbangan yang paling besar dalam menilai sektor energi adalah sektor yang paling agresif, paling mungkin, dan paling cepat mengimplementasikan transisi energi.
Sekjen APBI, Haryanto Damanik memaparkan, melansir data yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK), baru kemudian disusul dari sektor energi, pertanian, dan sektor lainnya.
"Saat ini, anggota APBI sudah melakukan pengelolaan lingkungan antara lain menggunakan biofuel untuk kegiatan penambangan, menggunakan EBT seperti solar panel di mess karayawan, hingga melakukan reklamasi pasca-tambang," jelasnya.
Bahkan, upaya reklamasi ini menurut data ESDM telah terealisasi melebihi dari target. Haryanto memaparkan, pada 2020 reklamasi yang terealisasi mencapai 9.730 hektare dari target sebelumnya ditetapkan 7.000 hektare.
Baca Juga: Industri batubara hadapi tantangan dari aspek pendanaan
Tak hanya itu, para pelaku industri energi mengupayakan teknologi ramah lingkungan seperti teknolgi ultra super critical pada PLTU sehingga lebih efisien dan emisi yang dikeluarkan jauh lebih rendah.
Haryanto memaparkan, setelah perhelatan COP26, sektor batubara menjadi perhatian seluruh dunia yang dianggap mempengaruhi peningkatan gas emisi rumah kaca. Bahkan seruan phase out PLTU berbasis batubara mengemuka yang pada akhirnya kebijakan menjadi phasing down.
Upaya phasing down PLTU batubara sebenarnya sudah dimulai dengan penghentian izin baru pembangunan pembangkit secara bertahap, pengembangan biomassa energi, rofftop solar panel, geothermal, dan lainnya.