Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Sandy Baskoro
PARIS. PT Lion Mentari Airlines, pemilik maskapai Lion Air kembali menggebrak jagat bisnis penerbangan di Indonesia, bahkan dunia. Setelah membeli 230 pesawat Boeing pada awal tahun lalu, kali ini Lion Air memesan 234 pesawat Airbus senilai US$ 24 miliar yang setara Rp 228 triliun. Aksi Lion Air seakan meruntuhkan anggapan bahwa industri penerbangan Indonesia meredup.
Sosok Rusdi Kirana, pemilik dan Chief Executive Officer Lion Air, menyedot perhatian industri penerbangan Indonesia, bahkan mancanegara. Disaksikan Presiden Prancis François Hollande, Rusdi Kirana dan CEO Airbus, Fabrice Bregier, meneken perjanjian jual beli sebanyak 234 unit
Airbus di Paris, Prancis, Senin (18/3) lalu.
Lion Air memesan 234 Airbus dengan dua tipe, yakni Airbus 320 dan Airbus 321. Dengan aksi ini, Lion Air ingin mengunyah pasar penerbangan global, setelah menjadi penguasa di pasar domestik. Tahun lalu, Lion Air menguasai pasar domestik dengan mengangkut 23,93 juta penumpang yang didukung 86 pesawat. Selama 2012, penumpang udara di Indonesia mencapai 72,46 juta, meliputi penumpang udara domestik
sebanyak 63,62 juta dan internasional 8,85 juta orang.
Apa alasan Lion Air memborong Airbus? Bagaimana strategi bisnis maskapai ini di masa depan? CEO Lion Air, Rusdi Kirana, menjawab pertanyaan
jurnalis KONTAN Djumyati Partawidjaja dan sejumlah wartawan lain di Paris. Berikut petikannya:
KONTAN: Bisa dijelaskan transaksi dengan Airbus?
RUSDI: Total pembelian pesawat Airbus sebanyak 234 unit, meliputi tipe 320 dan 321. Kami bisa request minimal satu tahun sebelum jadwal
pengiriman (delivery). Tapi pastinya, dari jumlah itu, sebanyak 174 unit adalah Airbus Neo (model Airbus terbaru dan akan delivery pada 2018). Kemudian 60 unit adalah Airbus Seo (model mesin existing). Pada pertengahan 2014, sudah mulai delivery sekitar 6 pesawat.
KONTAN: Pembiayaannya?
RUSDI: Kami dibiayai sindikasi Export Credit Agency (ECA) di Inggris, Prancis, dan Jerman. Untuk pembelian pesawat Airbus ini, saya mendapat
kredit 10 tahun hingga 15 tahun untuk satu pesawat.
KONTAN: Bunga kredit dan skemanya seperti apa?
RUSDI: Kecil, LIBOR plus 2%. Skemanya, kredit akan berjalan setelah pesawat delivery. Sedangkan pengiriman pesawat tidak sekaligus. Baru selesai pengiriman di 2027. Artinya, pembayaran kredit yang terakhir akan selesai 10 tahun hingga 15 tahun dari 2027, atau sekitar 2037-2042.
Mungkin saya juga sudah mati di tahun segitu (tertawa).
Nanti, angsuran pembayaran setiap tahun semakin besar karena akumulatif. Pada titik tertentu akan turun lagi. Puncak angsuran tertinggi mungkin
pada 2020. Tapi itu kan kecil bunganya karena dalam dollar Amerika Serikat.
KONTAN: Pertimbangan membeli pesawat dalam jumlah besar?
RUSDI: Karena target kami bukan pasar lokal saja, tapi pasar Asia Pasifik dengan memanfaatkan kebijakan open sky di tahun 2015. Lion Air akan masuk ke dua negara di Asia. Airbus lebih ke pasar Asia Pasifik. Kami mencoba melihat dulu. China memang salah satu target, tapi kami belum tentukan apa mau akuisisi atau mau bikin baru. Kalau masuk, kami tidak akan menjalankan strategi seperti AirAsia (memberi nama yang sama di berbagai negara). Kami akan memakai nama lokal.
KONTAN: Soal perawatan pesawat bagaimana?
RUSDI: Untuk maintenance, kami pasti akan kerjasama. Contohnya sekarang banyak orang kita di Malaysia. Nanti untuk perawatan pesawat, alat
produksi akan dioperasikan di perawatan Indonesia. Ini mendatangkan devisa. Di Batam, kami membangun fasilitas perawatan dan perbaikan pesawat seluas 16 hektare, bekerjasama dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk sewa selama 25 tahun. Saya belum bisa pastikan berapa besar penyerapan tenaga kerja di Batam. Tapi untuk tahap pertama akan buka pertengahan tahun depan. Di tahap ini, akan beroperasi seluas 4 hektare dengan kapasitas 16 pesawat.
KONTAN: Apakah maintenance bisa menjadi bisnis utama Lion Air?
RUSDI: Suplemen ya, karena kita butuh perawatan pesawat. Kami juga mau merawat pesawat pihak ketiga. Maka Lion Air dan Airbus ingin membuat sertifikasi Eropa. Pasar bisnis perawatan pesawat memang masih terbuka lebar. Karena logikanya, siapa yang mau membuka maintenance kalau dia tidak punya pesawat. Di Indonesia kan cuma ada PT Garuda Maintenance Facility (GMF). Seharusnya tiap airline punya, tapi airline juga punya skala ekonomi dan prioritas.
Dengan membangun fasilitas perawatan dan bengkel di Batam, cita-cita Pak Habibie akan terwujud. Sehingga, kita tak hanya jualan tiket, tapi juga
bisa merawat pesawat dan membuka lapangan kerja.
Airbus juga mau membangun bengkel dan melakukan sertifikasi. Sudah belasan orang Airbus masuk Indonesia untuk membantu bengkel kita sehingga mendapat sertifikasi dari Eropa. Sehingga, pesawat yang kita rawat adalah sertifikasi Eropa. Ini artinya bengkel di sini bisa memperbaiki Boeing maupun Airbus. Kita bisa menarik maskapai luar negeri, baik awak maupun pesawatnya. Ini kan untuk menarik devisa negara juga pada akhirnya.
KONTAN: Persaingan dengan Garuda Indonesia?
RUSDI: Jangan kita bicara tentang kompetisi Garuda dan Lion. Kita menjadi bodoh sekali, jangan kita memarjinalkan diri kita. Sebagai negara dengan market begitu besar, kita bersama-sama membangun negara bukan sebagai pusat konsumen. Tapi pusat perawatan, pusat pelatihan, kerjasama seluruh airline.
Katakanlah, maaf, saya berkelahi dengan Garuda. Saya menang so what, Garuda menang so what. Memang kalau saya kalah, saya mati, Garuda akan bisa merajai dunia? Sama juga dengan saya menang, apa saya akan merajai dunia, tidak toh.
Yang penting sekarang bagaimana caranya kita bisa mendorong Boeing dan Airbus memberikan lebih banyak pekerjaan kepada PT Dirgantara Indonesia. Sama-sama menekan mereka untuk membuat pusat pelatihan di Indonesia. Tidak hanya di negara tetangga.
Bagaimana kita membujuk mereka memberikan transfer teknologi untuk perawatan pesawat. Supaya pesawat maskapai asing pun bisa kita rawat.
Kalau bicara kompetisi antara satu sama lain sih kuno deh, itu zaman dulu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News