Reporter: Dimas Andi | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pengembangan industri gas Indonesia cukup krusial. Ini mengingat ada banyak pelaku berbagai jenis industri yang membutuhkan suplai gas dalam menjalani kegiatan operasional.
Ketua Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) Michael Susanto Pardi mengatakan, kontribusi gas berkisar mulai dari 20% sampai 40% dari biaya produksi kimia. Artinya, gas merupakan komponen biaya yang signifikan dan berdampak pada keunggulan daya saing produk industri kimia dalam negeri.
Baca Juga: Perkuat infrastruktur LNG, PGAS menjaring pasar di bisnis gas alam cair
"Hampir semua industri kimia dasar menggunakan gas, baik untuk proses produksi utama ataupun untuk bahan bakar pada boiler,” ungkap dia kepada Kontan, beberapa waktu lalu.
Industri keramik juga cukup bergantung pada ketersediaan. Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Eddy Suyanto bilang, energi gas menjadi komponen biaya terbesar dari proses produksi industri keramik yakni sekitar 30%--35% dari total biaya produksi.
Tak ketinggalan, gas juga berperan penting dalam industri kaca. Yustinus Gunawan, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Indonesia (AKLP) menyebut, semua jenis kaca membutuhkan gas dalam proses pembuatannya, termasuk produk turunan kaca lembaran. “Beban gas terhadap biaya produksi kaca pun mencapai 30%,” ujar dia.
Sejauh ini, para pengusaha cukup puas dengan upaya BUMN migas, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) untuk meningkatkan distribusi gas secara terintegrasi. PGAS memang telah memiliki jaringan pipa gas yang menghubungkan sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera.
Baca Juga: Kontrak gross split WK Corridor diteken, ini harapan Menteri ESDM Arifin Tasrif
Hal ini tentu menguntungkan bagi pelaku industri yang pabriknya berada di sekitar wilayah tersebut, apalagi jaringan gas milik PGAS juga menjangkau kawasan industri.
Walau demikian, PGAS diharapkan dapat terus memperluas jaringan pipa gas untuk memenuhi kebutuhan di sektor industri.
Michael menyebut, distribusi gas oleh PGAS masih bisa dikembangkan hingga di luar kawasan industri. Ia menilai, tantangan saat ini adalah ketika pengusaha ingin membangun pabrik selain di kawasan industri atau tidak berdekatan dengan pabrik lainnya, lokasi pabrik tersebut acap kali belum dilalui oleh jaringan pipa gas.
Sementara Yustinus berharap, ke depan perusahaan seperti PGAS dapat lebih mengedepankan kepentingan nasional yang dibuktikan dengan implementasi harga gas yang kompetitif untuk sektor industri.
Baca Juga: PGN dan Sinopec tandatangani perjanjian jual beli LNG
Dengan begitu, pihak pelaku industri dapat menyerap tenaga kerja dan menyerap investasi secara optimal, sehingga berdampak positif bagi rantai perekonomian.
Senada, Eddy menilai, harga gas menjadi tantangan yang belum bisa diselesaikan oleh PGAS maupun pihak terkait lainnya. Sebagai konsumen, pihak Asaki berharap pemerintah bisa merealisasikan Perpres No. 40 tahun 2016 yang mana disebutkan bahwa harga gas untuk industri ditetapkan sebesaar US$ 6 per MMBtu.
“Dibandingkan dengan harga gas sesama industri keramik di regional Asia, harga gas di Indonesia termasuk salah satu yang paling tinggi,” jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News