kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Semacam pajak carbon, RUU EBT bakal wajibkan badan usaha miliki standar portofolio ET


Kamis, 17 September 2020 / 20:10 WIB
Semacam pajak carbon, RUU EBT bakal wajibkan badan usaha miliki standar portofolio ET
ILUSTRASI. PLN kejar proyek EBT


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

"Kalau ini (SPET) sudah berjalan, "fungsinya" hampir sama dengan carbon tax. Kalau seandainya mereka tidak bisa membangun pembangkit energi bersih, (badan usaha tersebut) bisa membeli sertifikat reneweble," terangnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpandangan bahwa penerapan SPET tersebut perlu dicoba sebagai instrumen dalam meningkatkan pasokan ET. SPET mendorong perusahaan untuk memproduksi energi ET dengan prosentase tertentu. Jika tidak, harus dikompensasi dengan sertifikat ET.

"Sertifikat ini dikeluarkan berdasarkan jumlah pasokan energi terbarukan yang dibangun. Kalau ingin akselerasi energi terbarukan, ini (SPET) perlu dibuat sehingga membuka pasar energi terbarukan dan mendorong investasi," kata Fabby saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Menurut dia, instrumen SPET dan sertifikat ET pantas diterapkan di Indonesia, karena hal ini pun sudah banyak diterapkan di berbagai negara. "Kedua instrumen ini sudah diterapkan di banyak negara jadi kita bisa belajar," sebutnya.

Baca Juga: Dorong pemanfaatan energi surya, ini strategi yang disiapkan pemerintah

Semantara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengaku belum bisa banyak berkomentar karena perlu mendalami terlebih dulu draft RUU EBT yang dimaksud. Yang jelas, dia berpandangan bahwa kebijakan ini perlu dilihat lagi sejauh mana tahap dan kesiapan implementasinya.

Jika aturan ini jadi diterapkan, kata dia, maka harus terlebih dulu ada standar dan acuan yang jelas dari negara yang sudah sukses menerapkan skema ini. "Menurut saya perlu melakukan benchmarking terhadap best practice di negara-negara lain yang sudah mengimplementasikannya," ungkap Arthur.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya masih akan menampung masukan tersebut. Kata dia, Komisi VII akan menggelar sejumlah RDPU lagi untuk mendengar masukan dari stakeholders lainnya.

Saat ini, RUU EBT masuk ke dalam Program Legislasti Nasional (Prolegnas) tahun 2019-2024 dan menjadi Prolegnas Prioritas pada 2020 ini. Komisi VII telah menyusun draft RUU dan ditargetkan sudah final menjadi RUU EBT pada akhir tahun nanti, sehingga bisa segera dibahas bersama pemerintah.

"Banyak masukan yang sudah ada di dalam draft RUU. Tambahan yang diterima dalam RDPU akan dijadikan bahan kajian. Akhir tahun targetkan akan diajukan ke pemerintah," kata Eddy kepada Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Selanjutnya: Ini strategi yang disiapkan pemerintah dalam pengembangan PLTS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×