kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Serapan gas industri masih rendah, perlu ada evaluasi kebijakan harga gas industri


Kamis, 15 April 2021 / 14:11 WIB
Serapan gas industri masih rendah, perlu ada evaluasi kebijakan harga gas industri
ILUSTRASI. Upaya mengoptimalkan industri lewat penerapan kebijakan harga gas US$ 6 per mmbtu dinilai masih belum berjalan sesuai konsep awal.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya mengoptimalkan industri lewat penerapan kebijakan harga gas US$ 6 per mmbtu dinilai masih belum berjalan sesuai konsep awal.

Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno mengatakan, berdasarkan laporan keuangan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terlihat realisasi niaga gas bumi kepada industri dan komersial sepanjang 2020 turun 23% dibandingkan 2019 lalu.

Eddy melanjutkan, kebijakan harga gas khusus untuk segmen industri sejatinya diharapkan bisa mendorong industri pengguna lebih optimal.

"Konsep awalnya kan, keringanan harga gas itu agar industrinya meningkatkan kinjera menghasilkan produk dan bisa memberikan nilai tambah bagi negara. Nah, ini perlu evaluasi ini kebijakan efektif apa enggak," kata Eddy di Jakarta, Kamis (15/4).

Baca Juga: Asaki: Pebisnis keramik siap menyerap gas industri lebih besar lagi tahun ini

Eddy melanjutkan, dengan realisasi serapan yang tidak optimal maka perlu ada evaluasi dari pemerintah untuk kebijakan harga gas.

"Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan dari program harga gas khusus untuk industri tertentu itu. Karena setelah diberikan fasilitas itu industrinya enggak menggeliat," imbuh Eddy.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, perlu ada perhatian pemerintah terhadap BUMN.

Komaidi menyoroti  sengketa pajak PGN atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013, sebab hal tersebut dinilai menjadi salah satu pemicu  kerugian perusahaan pada 2020 sebesar US$ 264,7 juta.

"Kalau kerugian yang disampaikan laporan keuangan paling banyak pajak," kata Komaidi.

Menurut Komaidi, sengketa pajak tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah di tingkat kementerian koordinator. Pasalnya, jika PGN merugi akibat membayar sengketa pajak akan mengurangi setoran dividen ke negara. Selain itu, juga akan menghambat pembangunan infrastruktur gas untuk pemerataan penggunaan gas bumi.

"Itu seharusnya diselesaikan di pemerintah, masalah kantong kiri kantong kanan, kalau bayar pajak setoran deviden berkurang," jelas Komaidi.

Masih menurut Komaidi, kebijakan harga gas khusus untuk industri juga menjadi salah satu penyebab PGN merugi. Disisi lain, serapan industri pengguna yang dinilai belum optimal membuat keuntungan  sebagai penyalur gas yang kecil tergerus biaya operasi.

"Hal ini harus diperhitungkan pemerintah, sebenarnya enggak apa-apa tapi volumenya banyak, tapi simulasi itu meleset sehingga kerugiaan tidak bisa terhindarkan," kata Komaidi.

Sebelumnya, PGN memproyeksikan dengan volume penyaluran gas ke pelanggan Kepmen 89K/2020 & 91K/2020 dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2024, diperkirakan akumulasi kerugian PGN mencapai US$ 801,38 juta.

Selanjutnya: PGN tegaskan pasokan gas US$ 6 per MMBTU bagi pelanggan industri terlayani seluruhnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×