Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasokan listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT) makin diminati oleh industri-industri di Tanah Air. Hal ini meningkat adanya kebijakan beberapa negara di Eropa yang menerapkan pajak karbon sebagai biaya tambahan impor.
Ke depannya, kebutuhan akan pasokan listrik yang berasal dari EBT bakal melonjak.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengatakan, banyak perusahaan di Indonesia yang membutuhkan pasokan listrik yang berasal dari EBT.
Baca Juga: PLN Siapkan 18 Unit SPKLU untuk Layani Kendaraan Listrik HUT RI di IKN
Untuk itu, banyak perusahaan yang meminta agar listrik yang dipasok untuk kebutuhan pabriknya berasal dari energi hijau. "Yang meminta sudah banyak, banyak industri-industri baru mintanya listrik hijau," kata Eniya.
Dari sisi penyuplai EBT, PT PLN (Persero) mencatat hingga semester 1 2024, layanan listrik hijau Renewable Energy Certificate (REC) PLN telah dinikmati oleh 5.407 pelanggan dengan total kapasitas mencapai 2,35 terawatt hours (TWh).
Angka ini meningkat 65% dibanding periode yang sama di tahun 2023 yang sebanyak 1.829 pelanggan dengan kapasitas sebesar 1,42 TWh.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menjelaskan, sebagai lokomotif transisi energi, PLN mendukung penuh kebutuhan sektor bisnis dan industri terhadap pasokan listrik hijau melalui Green Energy as a Service (GEAS) dengan produk unggulannya REC.
Baca Juga: Pendapatan Kompak Tergerus, Cermati Rekomendasi Saham Emiten EBT
"Kami menghadirkan opsi layanan listrik hijau 100% yang dipasok oleh pembangkit berbasis energi terbarukan (EBT) kami melalui REC,” kata Darmawan dalam keterangan tertulis kepada Kontan, Selasa (13/8).
Darmawan melihat kini makin banyak pelanggan sektor industri yang memanfaatkan REC untuk memperoleh pasokan listrik hijau dari PLN.
Tercatat di sepanjang tahun 2023, REC PLN telah digunakan oleh 3.378 pelanggan dengan kapasitas mencapai 3,5 TWh. Tingginya serapan REC di semester 1 2024 juga membuat Darmawan optimis tren serapan REC akan naik terus hingga akhir tahun 2024.
Sejalan dengan tingginya minat sektor bisnis dan industri untuk mendukung dekarbonisasi di Indonesia, PLN melihat kebutuhan energi hijau PLN akan semakin besar ke depannya.
"Dalam hal ini kami juga telah berhasil menambah dua pembangkit sebagai sumber REC. Sehingga saat ini kami memiliki 8 pembangkit REC dengan kapasitas produksi mencapai mencapai 4,7 juta REC atau 4,7 TWh per tahun,” jelas Darmawan.
Dari sisi pengguna EBT, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan bahwa saat ini beberapa kebun sawit sudah menggunakan listrik EBT dari Methane Capture.
"1 MW tergantung besarnya kebun, karena selain untuk pabrik juga untuk perumahan karyawan dan kantor," kata Eddy kepada Kontan, Selasa (13/8).
Sementara itu, dari sektor tekstil. Divisi Sustainability Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rahmat mengakui bahwa REP cukup membantu dalam upaya dekarbonisasi di industri garmen dan cukup membantu untuk meyakinkan pembeli terhadapm komitmen perusahaan dalam pengurangan emisi.
"Untuk kebutuhan EBT saat ini untuk sektor TPT lebih utama bagi sektor hulu yaitu fiber dan sektor hilir yaitu garmen," kata Rizal kepada Kontan, Selasa (13/8).
Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Surya Darma mengatakan, memang sudah banyak perusahaan internasional pada saat ini yang sudah punya komitmen untuk menggunakan energi terbarukan dalam berbagai kegiatan produksinya.
Perusahaan itu adalah perusahaan yang masuk dalam kelompok RE100, yaitu perusahaan yang punya kewajiban menggunakan 100% listrik dari energi terbarukan dalam kegiatannya dan menggantikan energi fosil secara keseluruhan.
Baca Juga: Pendapatan Kompak Tergerus, Cermati Rekomendasi Saham Emiten EBT
"Sebut saja kelompok perusahaan inisiatif RE100 itu seperti Coca Cola Amatil, Google, Apple, LG, Microsoft, IKEA, dan lain-lain. Karena itu kebutuhan energi terbarukan sebetulnya sudah sangat banyak. Jadi, memang benar, sudah banyak perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pasokan listrik dari EBT," kata Surya kepada Kontan, Selasa (13/8).
Selain perusahaan internasional, kata Surya, perusahaan di Indonesia mulai beralih ke pasokan listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Faktor yang mendorong tren ini adalah karena adanya kebijakan lingkungan yang menyebabkan tekanan dari pemerintah dan konsumen untuk mengurangi emisi karbon semakin kuat.
"Karena itu, makin banyak perusahaan ingin menunjukkan komitmen mereka terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, ada juga peraturan internasional tentang pemberlakuan pajak karbon di beberapa negara dengan mengeluarkan produk yang dihasilkan dengan menggunakan energi bersih lebih kompetitif di pasar global," ungkapnya.
Baca Juga: Geber EBT, PLN Memangkas Proyek PLTU
Untuk itu, peningkatan permintaan listrik EBT dari industri mendorong peningkatan pasokan. Saat ini jelas terlihat dari penambahan-penambahan kapasitas pembangkit EBT yang dibangun pemerintah dan swasta.
Selain itu, lanjut Surya, peningkatan penggunaan energi terbarukan juga terjadi dalam bidang industri. Banyak industri besar mulai mengadopsi energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energinya.
"Pemerintah Indonesia memiliki berbagai program untuk mendorong pengembangan EBT, seperti promosi, pemberian insentif fiskal dan kemudahan perizinan," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News