Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh dan Satuan Tugas Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) untuk memetakan persoalan ketenagakerjaan yang menjadi perhatian masyarakat. Namun, langkah ini menuai kritik dari kalangan serikat pekerja.
Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Saepul Tavip, menilai keberadaan dua lembaga tersebut tidak akan efektif menjawab kompleksitas persoalan buruh.
Menurutnya, Dewan Kesejahteraan Buruh dan Satgas PHK hanya akan berkutat pada persoalan hilir dengan sifat ad-hoc serta menghasilkan rekomendasi tanpa kekuatan hukum mengikat.
“Kerja-kerja kedua lembaga tersebut akan overlapping dengan lembaga kerja sama tripartit yang sudah ada, bahkan dengan Kementerian Ketenagakerjaan itu sendiri,” ujar Saepul dalam keterangan resmi, Sabtu (13/9/2025).
Saepul juga mengingatkan bahwa pembentukan lembaga baru berpotensi menambah beban anggaran negara. Ia khawatir lembaga tersebut justru hanya menjadi ajang bagi-bagi jabatan karena disebut setingkat menteri, sehingga membuat kabinet Presiden Prabowo semakin gemuk.
Baca Juga: KSPN Sarankan Prabowo Kaji Ulang Pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh
Ia menilai pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan masalah di hulu, yakni dengan membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang berkeadilan, melindungi pekerja, serta memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum.
Saepul menyinggung kondisi ketenagakerjaan pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja yang dinilai menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
“Sepanjang persoalan di hulu tidak segera diselesaikan, maka kondisi ketenagakerjaan di Indonesia akan tetap carut-marut. Pekerja yang sejahtera hanya akan jadi mimpi belaka. Pekerja yang bisa bertahan hingga pensiun pun akan tetap jadi angan-angan. Pelanggaran hak-hak pekerja akan terus berulang,” tegasnya.
Menurut Saepul, pasca lahirnya UU Cipta Kerja, iklim hubungan industrial di Indonesia menjadi semakin tidak menentu.
Pengusaha, buruh, maupun aparat dinas ketenagakerjaan di daerah kini harus merujuk pada tiga sumber hukum utama, yakni UU Ketenagakerjaan No.13/2003, UU Cipta Kerja No.6/2023, serta sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi, yang tentu tidak mudah dipahami.
Baca Juga: Kemenaker Klaim Aturan Pembentukan Satgas PHK Sudah di Tangan Presiden Prabowo
Lebih lanjut, OPSI mendorong pemerintah segera merealisasikan perintah Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 168/PUU-XXI/2023 untuk membentuk undang-undang khusus ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Cipta Kerja.
Undang-undang tersebut, kata Saepul, harus mencerminkan keberpihakan negara terhadap pekerja.
Ia juga menekankan pentingnya pembentukan Komisi Pengawasan Ketenagakerjaan yang independen untuk mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan di daerah.
“Lembaga semacam Kompolnas atau Komisi Yudisial justru lebih dibutuhkan ketimbang membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh maupun Satgas PHK,” ujarnya.
Saepul berharap Presiden Prabowo meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Sepanjang persoalan di hulu tidak diselesaikan, kesejahteraan buruh hanya akan menjadi mimpi belaka,” tandasnya.
Baca Juga: Prabowo : Satgas Mitigasi PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Punya Peran Penting
Selanjutnya: Belum Semua Aset Barang Milik Negara Diasuransikan
Menarik Dibaca: Daftar 7 Film Biografi Tokoh Dunia Ternama dan Berpengaruh, Sudah Nonton Semua?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News