Reporter: Vina Elvira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dari 7,5% menjadi 10% yang berlaku mulai 17 Mei 2025 dinilai merugikan petani kelapa sawit.
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin menyatakan kebijakan ini mengabaikan suara petani yang selama ini menolak kenaikan pungutan ekspor CPO.
Penolakan para petani bukan tanpa alasan, menurutnya pungutan ini justru merugikan mereka karena berpengaruh terhadap penurunan harga tandan buah Segar (TBS).
“Kenaikan pungutan ini akan langsung menurunkan harga TBS petani, ini kan sama dengan bulan Januari lalu setelah kenaikan pungutan menjadi 10% harga TBS petani langsung jatuh,” ungkap Sabarudin, kepada KONTAN, Kamis (15/5).
Sabarudin memprediksi, kenaikan pungutan 10% bisa menyebabkan penurunan harga TBS kelapa sawit berkisar Rp 300 hingga Rp 500 di tingkat petani.
Baca Juga: GAPKI: Kenaikan Tarif Ekspor CPO Tekan Harga TBS Petani
Di sisi lain, dia juga menilai bahwa kenaikan ini juga menandakan pemerintah lebih mengutamakan subsidi kepada konglomerat yang terlibat dalam biodiesel.
“Karena kenaikan pungutan ini diperuntukkan 90% untuk subsidi program biodiesel,” tuturnya.
SPKS pun mendorong kepada pemerintah agar dana pungutan ini lebih banyak untuk membantu petani sawit, terutama dalam bentuk dukungan sarana dan prasarana seperti jalan kebun petani dan pupuk.
SPKS juga mendorong agar dana BPDPKS bisa fokus untuk mendorong dan menyediakan pendanaan sertifikasi sawit berkelanjutan ISPO untuk mendukung Perpres No 16 tahun 2025, dalam pasal 16 sudah jelas bahwa biaya sertifikasi ISPO dari BPDPKS.
“Harapan kami, dari pungutan tidak terlalu tinggi menekan petani sawit. Kalau harga petani sawit rendah, maka akan berdampak pada pengelolaan kebun dan juga pendapatan dan kesejahteraan petani sawit,” tandasnya.
Baca Juga: Harga TBS Tertekan akibat Kenaikan Tarif Ekspor CPO, Ini Strategi Cisadane Sawit Raya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News