Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sudah melalui tahun pertamanya. Meski baru setahun, banyak kebijakan yang telah diterbitkan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, termasuk di sektor energi, khususnya bidang pertambangan mineral dan batubara (minerba) serta minyak dan gas bumi (migas).
Kebijakan di sektor tambang minerba yang paling mencolok adalah revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Minerba, yang digantikan dengan UU No. 3 Tahun 2020 yang disahkan oleh DPR pada 12 Mei 2020, dan ditandatangani Jokowi pada 10 Juni 2020. Selain itu, ada juga sejumlah pengaturan tambang dalam UU Cipta Kerja alias Omnibus Law.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, terbitnya dua regulasi tersebut secara umum mendapat sambutan positif dari pelaku usaha. Baik revisi UU Minerba maupun UU Cipta Kerja memberikan sejumlah insentif dalam bentuk fiskal maupun non-fiskal seperti kepastian berusaha.
"Hal-hal seperti ini lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan investasi jangka panjang," kata Hendra saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (19/10).
Dia pun menyoroti Pasal 169 A yang menyebutkan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi setelah memenuhi persyaratan.
Dengan aturan tersebut, perusahaan tetap bisa melanjutkan kegiatan usaha di wilayahnya setelah dievaluasi oleh pemerintah, melalui Kementerian ESDM. Menurut Hendra, ketentuan ini menjamin keseimbangan antara kepastian berusaha dan kepastian hukum dengan kepatuhan pengusaha dalam melakukan kegiatan usahanya.
Baca Juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf Amin, Inaplas: Industri hilir petrokimia mulai diperhatikan
"Dengan menaati peraturan di bidang lingkungan hidup dan kewajiban terhadap penerimaan negara," sambung Hendra.
Menurut Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Apollonius Andwie, disahkannya revisi UU Minerba menjadi pertanda concern pemerintah terhadap industri pertambangan. Apalagi, batubara selama ini menjadi komoditas penting dalam menunjang pendapatan negara.
Sejauh ini, sambungnya, pemerintah mendukung industri batubara agar bisa tetap bertahan di tengah tantangan berat yang dihadapi dalam setahun belakangan ini. "Kondisi industri batubara selama setahun ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha, karena adanya pandemi dan fluktuasi harga batubara di pasar global," kata Andwie.
Dihubungi terpisah, Chief Financial Officer PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Bernardus Irmanto berharap revisi UU Minerba dan Omnibus law, bisa memberikan kepastian hukum serta penyederhaaan perizinan berusaha dan birokrasinya. Sehingga, iklim usaha di sektor pertambangan bisa menjadi lebih baik.
Selain itu, konsistensi kebijakan untuk melarang ekspor bijih nikel mentah dan mendorong peningkatan nilai tambah alias hilirisasi dinilai tepat. Apalagi, di tengah kondisi pasar nikel global yang sedang surplus.
Menurut Bernardus, langkah tersebut bisa menempatkan Indonesia di posisi strategis dalam pasar nikel dunia. "Ini juga sejalan dengan visi Presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai major player dalam industri baterai mobil listrik. Penetapan harga patokan mineral untuk bijih juga langkah yang baik guna mendorong usaha pertambangan yang lebih sustainable," kata Bernardus.
Tak hanya di sektor tambang minerba, sejumlah kebijakan pun telah ditelurkan untuk sektor migas. Salah satu yang menjadi sorotan adalah fleksibilitas yang ditawarkan pemerintah dalam kontrak migas dengan menghidupkan kembali cost recovery.
Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM No. 08/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, pemerintah memberikan kesempatan bagi investor untuk memilih bentuk kerja sama yaitu cost recovery atau gross split.
Selain itu, ada juga implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 mengenai harga gas industri. Pemerintah pun memutuskan untuk menjalankan beleid tersebut, agar harga gas bumi untuk industri dan listrik bisa diturunkan menjadi rata-rata US$ 6 per mmbtu di plant gate konsumen mulai 1 April 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Assosiation (IPA) Marjolijn Majong, fleksibilitas jenis kontrak bisa membantu keekonomian dari kegiatan migas yang dikerjakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Sedangkan untuk harga gas US$ 6 per mmbtu, Marjolijn mengatakan bahwa kebijakan tersebut positif selama tidak menganggu keekonomian dari sisi hulu migas.
"Tetapi pemerintah harus benar-benar memastikan bahwa keekonomian project tetap akan dijaga sehingga dengan demikian investment tetap akan berlanjut dan lebih banyak lapangan gas akan di kembangkan," ungkap Marjolijn.
Sedangkan mengenai pengaturan sektor migas di Omnibus Law, IPA berharap akan ada penyederhanaan perizinan dan aturan tersebut bisa diimplementasikan secara tepat. "Pada dasarnya akan membuat simplifikasi pada perijinan di bidang energi dibandingkan dengan saat ini. Tentu kami harapkan bahwa implementasinya berjalan dengan baik," pungkas Marjolijn.
Selanjutnya: Setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, APSyFI: Perlu tegaskan pengetatan impor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News