Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
Dia menyebut, renegosiasi kontrak pembelian gas akan berpengaruh terhadap rencana-rencana pengembangan lapangan migas dan investasi yang dilakukan oleh KKKS dalam beberapa waktu ke depan.
Adapun dampak bagi pemerintah adalah berkurangnya bagian penerimaan negara yang salah satunya digunakan untuk menjamin penerimaan KKKS. Hal ini didasari oleh implementasi penyesuaian harga gas dalam Keputusan Menteri ESDM No. 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri dan Kepmen ESDM No. 91/12/MEM/2020 tentang Harga Gas Bumi di Pembangkit Tenaga Listrik.
Arief juga menjelaskan, renegosiasi kontrak yang dimungkinkan nantinya lebih kepada pemberian fleksibilitas dan relaksasi pengambilan make up gas yang ada di dalam Perjanjian Jual-Beli Gas (PJBG) saat ini.
Baca Juga: Kementerian ESDM dan Komisi VII sepakati asumsi makro sektor energi untuk RAPBN 2021
Mengutip berita sebelumnya, dalam mekanisme make up gas, para pembeli gas nantinya harus membayar dengan ketentuan ToP sekalipun menyerap volume gas di bawah ketentuan yang ada. Adapun sisa volume yang belum terserap dapat diserap pada tahun atau periode berikutnya.
Di sisi lain, Arief turut berharap pengambilan gas yang sesuai dengan ketentuan ToP dapat dioptimalkan lagi paling tidak di kuartal IV-2020 dengan catatan pandemi virus corona benar-benar mereda.
“Karena PJBG ini bersifat business to business, maka renegosiasi bisa dilakukan secara langsung oleh penjual dan pembeli gas dengan difasilitasi oleh SKK Migas,” ungkap dia.
Sebagai catatan, rendahnya serapan gas oleh para pembeli tercermin dari data SKK Migas yang memperlihatkan bahwa realisasi lifting gas di bulan Mei 2020 baru mencapai 5.253 MMSCFD atau 10,45% lebih rendah dibandingkan lifting gas di kuartal I-2020 sebanyak 5.866.
Bila dibandingkan dengan target APBN 2020 sebesar 6.670 MMSCFD, maka realisasi lifting gas di bulan Mei lalu baru mencapai 79%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News