Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menyiapkan aturan soal denda administratif bagi pelanggaran penyelenggaraan umrah dan haji khusus yang merugikan jemaah. Denda tersebut diberikan kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang tak menjalankan kewajibannya.
Meski sanksi itu dinilai bisa mendisiplinkan PPIU dan PIHK, namun pelaku usaha biro perjalanan haji dan umrah yang terhimpun dalam sejumlah asosiasi memberikan catatan kritis atas rencana kebijakan tersebut.
Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Firman M. Nur menilai bahwa rencana pemberlakuan denda administratif ini datang pada momentum yang tidak tepat. Firman menegaskan, secara bisnis, saat ini sektor biro perjalanan haji dan umrah sedang mati suri.
Menurutnya, rencana denda ini bisa menjadi kontraproduktif. Pasalnya, yang sekarang dibutuhkan oleh pelaku usaha biro perjalanan haji dan umrah adalah perhatian dan dukungan pemerintah agar mereka bisa tetap menjalankan usaha, ketika pintu umrah dan haji kembali di buka Arab Saudi untuk jemaah Indonesia.
Firman bilang, biro perjalanan haji dan umrah menjadi pelaku bisnis yang terdampak pandemi paling awal dan paling panjang, yakni pada akhir Februari 2020 hingga sekarang. Kata dia, pemerintah pun belum mengucurkan stimulus yang bisa menjamin keberlangsungan hidup usaha biro perjalanan haji dan umrah.
Baca Juga: Himpunan pengusaha haji dan umrah sebut aturan denda bagi PPIU dan PIHK tidak tepat
"Apa yang mau dikenakan kalau bisnisnya mati suri? Sampai saat ini belum ada fasilitas atau stimulus yang mengurangi beban biro haji dan umrah. Kemudian tiba-tiba mengeluarkan kajian tentang denda, saya kira ini tidak tepat. Prioritas pemerintah seharusnya fokus untuk menjaga kelangsungan iklim usaha," tegas Firman kepada Kontan.co.id, Senin (15/11).
Apalagi, rencana aturan ini terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Firman mempertanyakan, seharusnya UU Cipta Kerja bisa menumbuhkan iklim usaha seperti yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah, bukan malah sebaliknya.
Selama pandemi hampir dua tahun ini, sambung Firman, biro perjalanan berjibaku untuk tetap bisa menjaga kelangsungan hidup usahanya. Termasuk memenuhi kewajiban terkait biaya operasional, sewa tempat, hingga menggaji karyawan.
Salah satu strategi yang jamak dilakukan oleh biro perjalanan haji dan umrah adalah melakukan diversifikasi bisnis, atau mengubah usahanya ke sektor kuliner dan perdagangan. Biro perjalanan yang dikelola Firman, juga memiliki pengalaman serupa.
"Amphuri berusaha memberikan pelatihan dan ide-ide diversifikasi usaha. Alhamdulillah sebagian melakukannya untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada di mereka. Namun ini perlu waktu, dan tidak bisa menutup high cost kami," jelas Firman yang juga merupakan Direktur Utama Maghfirah Travel.
Mengenai biro perjalanan haji dan umrah yang melalaikan kewajiban sehingga merugikan jemaah, Firman memberikan catatan. Pertama, biro perjalanan nakal itu hampir semuanya merupakan biro ilegal yang tidak memiliki izin.
Oleh sebab itu, Firman meminta agar pemerintah bisa lebih aktif untuk mensosialisasikan agar masyarakat wajib menggunakan paket umrah dan haji ke biro yang sudah memiliki perizinan lengkap. "Jumlahnya (biro haji dan umrah yang berizin) kan sudah sangat banyak. Di Amphuri sendiri ada 501 penyelenggara haji dan umrah," terang Firman.
Kedua, belajar dari pengalaman sebelumnya, potensi bagi biro haji dan umrah yang berizin namun merugikan jemaahnya memang tetap ada. Menurut Firman, hal itu terjadi lantaran biro tersebut tidak menjalankan bisnis model sesuai aturan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, dia mengusulkan agar Kementerian Agama (Kemenag) bisa lebih aktif melakukan monitoring dan evaluasi. "Jadi jangan ada kesan pembiaran dari awal jika ada biro dengan sistem bisnis yang tak sesuai ketentuan. Jangan tunggu timbul kerugian di jamaah, hal-hal itu semestinya bisa diantisipasi," ujar Firman.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) Alfa Edison memahami bahwa aturan ini merupakan bagian penerapan dari UU Cipta Kerja. Namun dalam implementasinya masih perlu kajian mendalam antara Kemenag dengan asosiasi-asosiasi haji dan umrah, baik dari sisi substansi maupun momentum penerapannya.
"Masukan kami, ada rasa keadilan buat semua pelaku usaha, jangan cuman sektor haji dan umrah saja yang dibuat aturan menyulitkan. Dan pemberlakuannya tentu pada saat yang tepat, dikondisi normal, bukan kondisi seperti sekarang," kata Alfa.
Kata dia, memang sudah ada pertemuan antara asosiasi haji dan umrah bersama dengan pihak Kemenag dan Kementerian Keuangan. Hanya saja belum ada hasil kongkret, sehingga dikembalikan lagi kepada Kemenag dan asosiasi untuk membahas secara lebih detail.
Untuk saat ini, pelaku usaha biro perjalan berharap agar layanan untuk jemaah umrah Indonesia bisa segera dibuka lagi. Sehingga iklim usaha bisa kembali bergerak.
Sedangkan dari sisi regulasi, asosiasi dan pelaku usaha berharap pemerintah bisa memberikan aturan yang memproteksi jemaah sekaligus menumbuhkan iklim usaha. Termasuk dengan pemberian stimulus berupa bantuan tunai maupun pinjaman lunak dari perbankan untuk memulai lagi industri perjalanan haji dan umrah.
"Kondisi sekarang kebanyakan dari PPIU dan PIHK mengalami kesulitan akibat hampir 2 tahun industri ini tidak bergerak. Justru kami perlu support dari pemerintah dan pihak perbankan untuk bisa bangkit di saat umrah dibuka sebentar lagi," pungkas Alfa yang juga merupakan Direktur Utama AlfaTour.
Selanjutnya: Ini besaran denda bagi penyelenggara umrah yang gagal berangkatkan jemaah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News