Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kisruh larangan ekspor nikel ore kadar rendah, Harga Patokan Mineral (HPM) untuk penjualan domestik mencapai titik temu. Harga acuan untuk penjualan domestik dipatok dalam rentang US$ 27 - US$ 30 per metrik ton untuk nikel ore berkadar hingga 1,7%.
Kesepakatan tersebut dicapai setelah digelar pertemuan antara Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), pengusaha nikel, dan pengusaha smelter nikel, Selasa (12/11). Harga patokan dengan rentang batas atas dan bawah itu berlaku hingga Desember 2019.
Baca Juga: Pemerintah dan pengusaha sepakati harga jual nikel ore US$ 30 per metrik ton
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, penetapan harga jual nikel ore menyesuaikan harga internasional yang ditetapkan oleh China dan dikurangi pajak, serta biaya transshipment untuk nikel kadar di bawah 1,7%. Harapannya, ini bisa menjaga harga jual nikel di tengah larangan ekspor nikel yang mulai efektif 1 Januari 2020.
Bahlil menyebut, jika ada sentimen yang menyebabkan fluktuasi harga, maka pengusaha tidak boleh mematok harga di luar rentang harga nikel ore yang telah ditetapkan.
Harga patokan tersebut disambut oleh kalangan pengusaha nikel. Direktur PT Sumber Swarna Pratama Ruslan Abdullah salah satunya. Menurut Ruslan, harga patokan dalam rentang US$ 27 - US$ 30 per metrik ton menjadi win-win solution di tengah kondisi saat ini.
Menurutnya, rentang harga patokan itu masih menjaga margin keekonomian bagi penambang, tapi di sisi lain juga tidak merugikan pihak smelter. Ruslan mengatakan, dengan batas bawah sebesar US$ 27 per metrik ton, penambang masih memperoleh margin yang tipis.
Baca Juga: Reformasi pajak belum membuktikan perbaikan tax ratio
Pasalnya, ongkos produksi yang dikeluarkan oleh penambang bisa mencapai US$ 22 - US$ 24 per metrik ton. "Jadi itu sudah win-win solution. Meski margin tetap nggak banyak, tipis. Kan tambang ada fix dan variable cost, menambang atau tidak, kalau sudah terbit IUP (Izin Usaha Pertambangan) harus bayar," terang Ruslan kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11).
Ruslan berharap, adanya harga patokan dengan skema yang mempertimbangkan rentang keekonomian batas bawah dan atas ini bisa terus berlanjut setelah Desember 2019. Namun, Ruslan memberikan catatan bahwa harga acuan ini harus benar benar terimplementasi di lapangan.
"Jangan seperti yang sudah-sudah, di lapangan beda lagi. Jadi tugas pemerintah untuk memastikan implementasi harga ini bisa sesuai di lapangan," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan, nikel merupakan komoditas yang berfluktuasi sehingga siklus pembentukan harga tak selalu sama.
Baca Juga: Pemerintah Jokowi Kembali Tarik-ulur Kebijakan Ekspor Nikel
Namun, kejelasan implementasi harga acuan memang diperlukan, lantaran harga di lapangan harus bisa mencerminkan keekonomian yang adil, baik bagi penambang, pemilik smelter, maupun juga untuk penerimaan negara.
Apabila sudah ada acuan harga seperti saat ini, Irwandy menekankan bahwa pemerintah harus bisa menjamin agar implementasi di lapangan bisa sesuai dengan acuan yang disepakati agar tataniaga bisa berlangsung secara fair.
"Soal harga jual domestik sebaiknya dikendalikan pemerintah agar penambang tidak rugi dengan harga rendah yang ditentukan pembeli domestik," ungkap Irwandy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News