Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI mendesak Pertamina untuk segera menghentikan kebocoran minyak di perairan Karawang serta melakukan penanganan terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Parlemen pun meminta supaya progres dari penanganan tersebut dilaporkan setiap pekan.
Hal itu menjadi kesimpulan rapat dengar pendapat yang digelar secara tertutup oleh Komisi VII DPR RI pada Rabu (11/9) sore. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto menyampaikan, ada dua kesimpulan yang dihasilkan dari rapat tersebut.
Pertama, kata Djoko, Komisi VII meminta Pertamina Group untuk terus melakukan penanganan, baik menghentikan kebocoran minyak maupun dampak lingkungannya.
Kedua, Komisi VII meminta Plt. Dirjen Migas Kementerian ESDM, SKK Migas, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusahan Lingkungan KLHK, Dirjen Penegakkan Hukum KLHK, SKK Migas, serta PT Pertamina (Persero) grup untuk menyampaikan laporan berkala setiap seminggu kepada Komisi VII.
"Cuma dua itu kesimpulannya. Selanjutnya Pertamina diminta untuk secepatnya menangani ini (kebocoran minyak) dan dampak lingkungannya," kata Djoko selepas mengikuti rapat tertutup tersebut.
Baca Juga: Ini sebaran penerima kompensasi tumpahan minyak PHE ONWJ di Karawang
Djoko menyebut, pemilihan waktu pelaporan berkala setiap minggu itu lantaran mempertimbangkan masa bakti DPR periode 2014-2019 yang akan segera berakhir. "Ya kan tinggal tiga minggu ladi DPR (periode ini), supaya penanganannya clear," sambungnya.
Pada kesempatan yang sama, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman mengungkapkan, upaya penutupan kebocoran sumur masih terus dilakukan. Targetnya, penutupan sumur tersebut bisa tuntas paling lambat pada 8 Oktober 2019. "Intinya penutupan sumur kami estimasikan paling lama 8 Oktober," ungkap Fajriyah.
Sembari menangani kebocoran sumur, sambung Fajriyah, Pertamina terus mendata dan menyalurkan kompensasi bagi warga terdampak. Ia bilang, warga yang sudah terverifikasi akan mendapatkan kompensasi secara non-tunai dengan melibatkan Himpunan Bank Negara (Himbara).
"Intinya tanggung jawab akan kami tunaikan, kompensasi terlebih dahulu. Kami gunakan bank Himbara dengan metode cashless sehingga screening (verifikasi) bisa dilakukan," ujar Fajriyah.
Dia pun tak menutup kemungkinan, penyaluran kompensasi ini baru menjadi tahap pertama. Sebab, bisa jadi belum semua warga terdata, lantaran penutupan sumber tumpuhan minyak masih berlangsung.
"Ini tahap pertama karena sumber oil spill belum tertutup sempurna, masih on progress. Tapi kami berharap nggak ada beberapa tahap karena diharapkan September ini atau paling lama di awal Oktober sudah tertutup," terangnya.
Baca Juga: PHE segera berikan kompensasi tahap awal akibat tumpahan minyak di Kabupaten Karawang
Sementara mengenai ganti rugi kerusakan lingkungan, khususnya terkait dengan dampak terhadap biota laut, Fajriyah bilang bahwa hal itu akan dihitung oleh KLHK bersama dengan Pertamina.
"Itu nanti diperhitungkan, kan ada KLHK bersama Pertamina lakukan survei. Kami akan lakukan rehabilitasi, baik masyarakat dan lingkungan," ungkap Fajriyah.
Sebagai informasi, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mengucurkan dana sebesar Rp 18,54 miliar untuk kompensasi tahap awal kasus tumpahan minyak di Kabupaten Karawang.
Pemberian kompensasi tahap awal dilakukan di dua desa yakni Desa Sedari dengan penerima kompensasi sebanyak 1.245 warga dan Desa Tambaksari sebanyak 780 warga. Direktur Pengembangan PHE Afif Saifudin bilang dalam awal, terdapat 10.271 warga yang akan menerima kompensasi.
Kompensasi tahap awal diberikan pada nelayan dan petambak. Adapun penyaluran dana kompensasi melibatkan Bank Himbara yakni BRI, Mandiri dan BNI dengan rata-rata 3.000 warga terdampak untuk tiap bank.
Baca Juga: Nelayan bantu bersihkan tumpahan minyak, Pengamat: Nelayan dapat manfaat
Pemberian kompensasi kepada warga terdampak berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah diverifikasi. KKP telah mendata warga terdampak pada 15-18 Agustus 2019 di tiga provinsi, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten yang tersebar di tujuh kota dan kabupaten, yakni Karawang, Bekasi, Kepulauan Seribu, Kabupaten Serang, Kota Serang, Tangerang, dan Kota Cilegon.
Asal tahu saja, kompensasi awal disepakati sebesar Rp 900.000 per warga setiap bulan selama dua bulan periode terdampak, yakni Juli-Agustus 2019. Besaran kompensasi berdasarkan hasil koordinasi pemangku kepentingan pada 9-10 September 2019 yang dihadiri Tim Kejaksaan Agung, BPKP, KKP, KLHK, SKK Migas, MUI Jabar dan Kepala Dinas di tujuh kabupaten dan kota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News